ETNISITAS VS NASIONALISME
Sisi negatif nasionalisme dalam Hans Peter (2005) terdapat empat
bagian yaitu:
Pertama, dengan adanya rasa nasionalisme beberapa kelompok rela
memperebutkan sesuatu atas nama tanah air, dan terkadang rasa nasionalisme juga
memunculkan rasa cinta secara berlebihan (Chauvinisme).
Sebagai contoh seorang Adolf Hitler mantan ketua partai Nazi, yang menganggap
bahwa hanya negara dan bangsanya yang paling unggul jika dibandingkan dengan
negara dan bangsa lainnya. Kedua, sekalipun
nasionalisme tidak menggunakan konfrontasi militer, namun nasionalisme bisa
menjadi hambatan bagi sebuah negara dalam menjalin kerjasama dengan negara
lain. Ketiga, rasa nasionalisme yang
berlebihan juga akan merusak hubungan antara politik dan ekonomi suatu negara.
Oleh karenanya, nasionalisme bisa mendorong adanya sebuah kerusakan negara
sehingga mampu menggoyahkan stabilitas hubungan aspek ekonomi dan politik yang
berkelanjutan. Keempat, jika
nasionalisme tumbuh dalam sebuah negara yang dipimpin oleh pemerintahan yang
diktator, maka bisa mendorong rakyatnya melakukan pemberontakan atau nationalism movement. Ketidaksamaan
pendapat atau mungkin perbedaan ideologi ditambah dengan besarnya rasa
nasionalisme bisa menyebabkan suatu masyarakat memilih untuk lepas dari
kedauatan dan ikatan sebuah negara.
Nasionalisme memiliki banyak dampak positif, namun jika
disalahartikan dapat justru dapat berdampak negatif, seperti yang telah
dipaparkan di atas. Nasionalisme yang berlebih, terlalu menyanjung agungkan
etnisnya sendiri sehingga merendahkan dan ingin menyingkirkan etnis yang lain,
itu merupakan sikap nasionalisme yang tidak pada tatanannya. Dalam sejarah
pernah tercatat Nasionalisme yang bertentangan dengan Etnisitas, yang pada
akhirnya berakhir pada pemberontakan dan juga penindasan terhadap etnis
tertentu. Benito Mussolini dan Adolf
Hilter, merupakan kedua tokoh yang begitu mengagungkan bangsa sendiri, Abdolf
hilter begitu membenci orang yahudi, dan ia ingin mengusir etnis yahudi yang
ada di jerman.
Nasionalisme memang dapat berdampak positif maupun negatif. Positif
ketika nasionalisme mampu membawa warga negara dalam sebuah integrasi atau
persatuan, dan akan negatif jika nasionalisme membuat warga negara menjadi
idealis dan menganggap rendah warga negara lain yang akan berakhir pada
disintegrasi.
Saat ini sebagian besar konflik yang tengah berkembang di Indonesia
adalah etnisitas yang seringkali membawa serta atribut agama. Ada suatu etnik
yang yang mayoritas memeluk agama tertentu sehingga konflik etnis seolah-olah
menjadi konflik agama juga, Saat ini
penyebab utamanya adalah diakibatkan oleh perasaan-perasaan etnisitas
dan nasionalisme yang sering kali diawali oleh marginalisasi, baik
marginalisasi secara politik atau ekonomise. Seperti halnya yang terjadi di
Ambon, sebagai contoh konflik etnis-etnis yang ada di Indonesia merefleksikan
hal ini di mana konflik etnis dibalut dengan isu agama. Sebagai akibatnya,
konflik tidak lagi melibatkan dua atau lebih etnik, tetapi juga menyulut
sentimen agama.
Konflik etnik menurut winarno (2014) disebabkan oleh beberapa
faktor yaitu sebagai berikut:
Pertama, munculnya etnosentrisme. Konsep etnosentrisme seringkali dipakai
secara bersama-sama dengan rasisme. Definisi konsep ini mewakili sebuah
pengertian bahwa setiap kelompok etnik atau ras mempunyai semangat
kelompoknyalah yang paling superior jika dibandingkan dengan kelompok lain,
sehingga muncul sebuah sentimen anggapan etnik lain lebih rendah ketimbang
etniknya sendiri. Kedua, keabsahan
teritorial. Khususnya bagi kelompok etnik “pendatang” yang mendiami wilayah
bangsa lain. Kelompok etnik “asli” bisa melakukan tindakan pembersihan (ethnic cleansing) bagi etnik “pendatang”
karena ingin agar wilayah bangsa mereka hanya ditempati oleh keturunan asli
bangsa tersebut. Hal ini nyata terjadi seperti yang dialami oleh orang-orang
Hungaria di Rumania, Tamil di Sri Langka, dan juga apa yang terjadi dengan
orang kulit putih di Afrika Selatan. Ketiga,
adanya streotipe negatif yang muncul terhadap salah satu atau beberapa etnik
tertentu yang diwariskan secara turun temurun sehingga menciptakan citra atau image dari etnik tersebut selalu buruk.
Sebagai contoh, seperti apa yang terjadi dengan keturunan etnik China dan
keturunan asli di Tangerang. Etnik China mengganggap masyarakat keturunan asli
Tangerang sebagai orang yang pemalas, bodoh dan tidak bisa menggunakan
kesempatan baik yang datang, sementara itu keturunan etnik China dianggap
sebagai golongan yang mau untungnya sendiri tanpa melihat halal atau haram. Keempat, adanya deskriminasi yang
terjadi terhadap kelompok etnik tertentu sehingga menimbulkan prasangka
ketidakadilan, sebagai contohnya seperti deskriminasi yang terjadi dalam
jajaran pemerintahan, organisasi, pendidikan dan lain sebagainya. Kelima, adanya ancaman yang muncul dari
etnik lain sehingga memicu terjadinya konflik. Keenam, adanya kesenjangan sosial yang terjadi antaretnik, sangat
rentan terjadi pada negara dengan multi-etnik. Ketujuh, adanya provokasi dari pihak lain, sepertiadanya pihak yang
diuntungkan sehingga sangat mudah melakukan propaganda untuk mendapatkan
keuntungan. Kedelapan, banyaknya
negara yang belum memiliki ketentuan hukum yang pasti dan memadai dalam
melindungi hak-hak kelompok etnikyang minoritas. Bahkan negara-negara yang
sudah memiliki ketentuan hukum tersebut, pada tahapan pelaksanaannya (enforcement) juga masih mengalami
berbagai hambatan dan kendala sehingga konflik tetap terjadi.
ETNISITAS DAN NASIONALISME
Nasionalisme
pada hakikatnya tidak bisa dipisahkan dari konsep etnik. Nasionalisme yang
mengusung tema nation atau bangsa,
sehingga pada suatu bangsa tidak dapat lepas dari anggota masyarakat yang
majemuk dan yang beretnik. Secara garis besar, etnik memiliki sebuah pengertian
yaitu sebagai suatu komunitas manusia yang memiliki nama, dan yang tinggal di
satu tanah air, yang dibangun berdasarkan persamaan nasip, memiliki unsur-unsur
budaya yang sama, dan yang dibangun serta dijaga dengan rasa solidaritas dalam
ikatan komunitas.
Suatu bangsa
biasanya memiliki banyak etnik, termasuk juga bangsa Indonesia
.Sangat jarang
bahkan hampir tidak ada bangsa yang hanya memiliki satu kesatuan etnik saja. Contohnya
saja Bangsa jepang, yang begitu terkenal dengan suku ainu, sehingga orang lain
akan menganggap bahwa bangsa Jepang hanya memiliki suku yang homogen, padahal
lebih dari itu, bangsa jepang juga emiliki etnis yang beragam.
Etnisitas dan
Nasionalisme penting untuk bersatu jika menginginkan negara yang makmur dan
maju
Nasionalisme memiliki beberapa bentuk-bentuk menurut Retno Listyarti (2007 :28) antara lain :
1. Nasionalisme
kewarganegaraan (nasionalisme sipil) adalah nasionalisme dimana negara
memperoleh kebenaran politik dari partisipasi aktif rakyatnya. Keanggotaan
suatu bangsa bersifat sukarela. Bentuk nasionalisme ini mula-mula dibangun oleh
Jean-Jacques Rousseau dan menjadi bahan tulisannya.
2 2. Nasionalisme
etnis atau etnonasionalisme adalah dimana negara memperoleh kebenaran politik
dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Keanggotaan suatu bangsa
bersifat turun-temurun.
3. Nasionalisme
romatik adalah bentuk nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebenaran
politik sebagai suatu yang alamiah dan merupakan eksprresi dari bansa atau ras.
Nasionalisme romantik menitik beratkan pada budaya etnis yang sesuai dengan
idealisme romantik
4. Nasionalisme
budaya adalah nasionalisme dimana negara meperoeh kebenaran politik dari budaya
bersama dan tidak bersifat turun-temurun seperti warna kulit
5. Nasionalisme
kenegaraan adalah merupakan variasi nasionalisme kewarganegaraan yang sering
dikombinasikan dengan nasionalisme etnis . Dalam nasionaalisme kenegaraan
bangsa adalah suatu komonitas yang memberikan kontribusi terhadap pemeliharaan
dan kekuatan negara. 6
6. Nasionalisme
agama adalah nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari
persamaan agama.
Dilihat dari pemaparan Retno Listyarti yang telah dijabarkan di
atas etnisitas dan Nasionalisme merupakan kedua hal yang tidak dapat
dipisahkan, budaya asal atau etnis sebuah masyarakat merupakan politik yang
penting bagi berdirinya suatu negara dan
Keanggotaan suatu bangsa bersifat turun-temurun.
ETNISITAS WITH NASIONALISME
Pada hakikatnya nasionalisme di era globalisasi sekarang ini
mengalami pergeseran makna seiring dengan perkembangan zaman. Nasionalisme yang
muncul saat ini lebih menekankan pada bagaimana paham nasionalisme mampu
menghadapi perubahan-perubahan global yang terjadi akibat proses globalisasi
berlangsung sangat cepat dan terjadi dalam skala yang luas dan mendalam.
Faktor penyebab munculnya nasionalisme di era globalisasi menurut
Budi Winarno (2014) bisa dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni faktor
internal dan faktor eksternal. Pertama,
faktor internal meliputi: (a) munculnya rasa saling memiliki sebagai bagian
dari suatu bangsa; (b) kebanggaan terhadap sejarah kejayaan di masa lampau; (c)
adanya keberagaman yang memunculkan semangat untuk membentuk identitas bersama.
Kedua, faktor eksternal meliputi: (a)
adanya imperialisme ekonomi dari negara-negara maju, khususnya negara Barat
terhadap negara-negara dunia ketiga melalui liberalisasi dan privatisasi; (b)
adanya ancaman dari pihak luar, berupa masalah terotorial seperti kasus
Ambalat, permasalahan HAM, pelecehan yang dilakukan negara lain (seperti
pemaksaan ideologi, pelecehan kedaulatan, klaim budaya dan bahasa); (c)
munculnya keinginan untuk melindungi kebudayaan lokal terhadap pengaruh
modernisasi
Berdasarkan pemaparan di atas, bahwa nasionalisme itu sangat
penting untuk melindungi etnisitas bangsa di era globalisasi saat ini, karena
banyaknya gempuran dari luar yang dapat mengikis nilai-nilai bangsa.
Nasionalisme with etnisitas di Indonesia dapat disatukan dalam
Bhineka tunggal ika. Bhinneka Tunggal Ika merupakan representasi dari kesatuan
geobudaya, dalam artian keanekaragaman agama, ideologis, suku-bangsa dan
bahasa, dan, apalagi, geografis di Indonesia, yang terbentang sangat luas dan
berpulau-pulau. Oleh sebab itu, Indonesia dikenal sebagai Negara kepulauan,
yang terdiri dari 17.200 pulau, 300 etnis mayoritas dan minoritas yang kemudian
berdampak pada keanekaragaman bahasa dari etnis-etnis yang terbesar dalam
untaian pulau-pulau (Rahman, 2010).
Keberagaman Indonesia merupakan entitas yang menyatu dalam semangat
Bhinneka Tunggal Ika sehingga akan tumbuh jiwa yang nasionalis di seluruh
masyarakat Indonesia, keberadaan multietnis bukan penghalang untuk menjadi
Negara yang solid, kuat, dan selalu bersatu. Nasionalisme dengan etnisitas juga
harus dibungkus dengan kesatuan dalam masyarakat yang madani, beranekaragam
tetapi dapat hidup berdampingan dengan damai antara satu sama lain.
Dalam tulisan Parsudi Suparlan, yang berjudul Bhinneka Tunggal Ika:
Keanekaragaman Suku Bangsa atau Kebudayaa?, yang disampaikan dalam Seminar
“Menuju Indinesia Baru; Dari Masyarakat Majemuk ke Masyarakat Multicultural,
yang diadakan oleh Perhimpunan Indonesia Baru dan Asosiasi Antropologi
Indonesia, di Yogyakarta, 16 Agustus 2001. Ia menyatakan bahwa penekanan corak
masyarakat majemuk atau Bhinneka Tunggal Ika Indonesia didasarkan pada
kesukubangsaan yang mengacu pada kelompok-kelompok atau masyarakat-masyarakat
sububangsa dengan masing-masing. Konsepsi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia
yang terdiri dari keanekaragaman sukubangsa membuat Bhinneka Tunggal Ika
menjadi pondasi untuk mempersatukan semua hal tersebut.
ETNISITAS BERHUBUNGAN DENGAN NASIONALISME
Etnisitas berhubungan dengan nasionalisme, hubungan tersebut dapat
menjadi hubungan yang positif namun juga dapat pula menjadi negatif. Pada
mulanya unsur-unsur pokok nasionalisme itu terdiri atas persamaan- persamaan
misalnya persamaan suku bangsa, daerah tempat tinggal, persamaan darah
(keturunan), kepercayaan agama, bahasa dan kebudayaan. Nasionalisme pada
sekelompok orang juga akan muncul ketika suatu kelompok suku yang hidup di
suatu wilayah tertentu dan masih bersifat primordial berhadapan dengan
kelompok-kelompok manusia yang berasal dari luar wilayah kehidupan mereka. dengan
begitu rasa solidaritas dan nasionalisme sesama anggota kelompok akan semakin
kuat meski mereka berasal dari etnis yang berbeda., dan itu merupakan sebagai
dampak positif dari Nasionalisme. Nasionalisme pada satu sisi menjadi positif
yaitu sebagai pemersatu, dan menjadi kekuatan progresif untuk para penganutnya
untuk mempertahankan kelompok mereka dari berbagai ancaman dari luar. Tapi disisi
lain, nasionalisme juga dapat berdampak negatif, karena dapat menjadi batasan
antara kelompok manusia, seperti yang pernah kita saksikan, misalnya
nasionalisme jepang dan nasionalisme Amerika Serikat dapat menjadikan kedua
negara tersebut berperang dalam perang asia timur raya.
Dalam Anderson 1999 menjelaskan bahwa bagaimana nasionalisme
terbangun berdasarkan kesadaran yang terbangun dari sejumlah kaum yang kemudian
bersatu. Atas dasar nasionalisme tersebut mereka membentuk entitas politik yang
tidak terbayangkan sebelumnya. Masing-masing kaum yang pada awalnya tidak
saling mengenal atau tidak punya keterkaitan historis maupun kultural dengan
yang lainnya, membentuk sebuah ikatan politis yang bersifat terbatas dan
mengikat, namun mengukuhkan kedaulatannya sebagai sebuah bangsa.
Etnisitas berhubungan dengan nasionalisme, hal tersebut dapat kita
saksikan dalam sejarah bangsa Indonesia. Kesadaran kebangsaan Indonesia justru
berawal dari gerakan-gerakan etnonasionalime di nusantara yang memiliki
keinginan untuk bersama, dan memiliki satu cita-cita dan tujuan yang sama,
sehingga antar etnis bersatu dan membentuk satu rasa nasionalisme dalam bingkai
negara Indonesia.
Di sini Anderson mempersepsikan nasionalisme sebagai wujud hasil
budaya dari sebuah komunitas, untuk memahaminya harus dilihat bagaimana rasa
kebersamaan dalam bingkai nasionalisme dapat muncul secara historis.
Nasionalisme muncul sebagai hasil akulturasi berbagai kekuatan historis
beberapa kaum, lalu diikat dengan sebuah ideologi kesadaran masing-masing kaum
bahwa akan adanya sebuah rasa kepentingan bersama, dan akhirnya dibentuk suatu
tatanan politis sebagai simbol persatuan sebuah komunitas baru tersebut.
Kemudian semua kaum dalam bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan
mereka.
Konteks nasionalisme Indonesia tidak berjalan sesuai dengan
kehendak ideal dari nasionalisme itu sendiri. Dalam meredam hal tersebut,
seharusnya rakyat diberikan perangkat hak untuk mengembangkan kebudayaan dan
identitasnya, dengan penekanan pada penghargaan yang tinggi atas budaya dan
identitas yang berbeda dengannya. Sehingga pemberian hak itu tidak disertai dengan
munculnya primordialitas baru. Dalam kondisi inilah nasionalisme rawan
menimbulkan perpecahan yang pada gilirannya meninggalkan cita-citanya untuk
bersatu (Hamzah, 2011)
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict, 1999, Komunitas-Komunitas Imaginer: Renungan
tentang Asal-usul dan Penyebaran Nasionalisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
& Insist Press), halaman v
Demokrasi
dan Kesejahteraan, Jakarta: Hastra Mitra-Institute for Global Justice, hal. 4
Hamzah, Fahri, 2011, Negara, Pasar dan Rakyat: Pencarian Makna,
Relevansi dan Tujuan, (Jakarta: Faham Indonesia), halaman 93.
Hans Peter Martin dan Harald Schumann, 2005. Jebakan Global: Serangan Terhadap
Rahman, H.
Darmawan M, dkk. Makna Bhinneka Tunggal Ika sebagai Perekat Kembali Budaya Ke-Indonesia-an.
Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2010.
Retno
Listyarti. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Esis. Jakarta.
Winarno, Budi. 2014. Dinamika
Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: Center of Academic Publishing
Service (CAPS)
No comments:
Post a Comment