Dalam kondisi normal, pemanasan matahari di perairan tropis akan
menghasilkan uap air yang kemudian oleh sistem cuaca global berupa sirkulasi
kolom udara Sirkulasi Hadley akan terdistribusi ke wilayah subtropis pada
kawasan antara 30 dan 60 derajat Lintang Utara dan Selatan. Oleh Sirkulasi
Ferrel selanjutnya diteruskan ke kawasan kutub masuk ke sirkulasi polar.
Mengikuti garis edar matahari itu yang bergerak naik turun ke
utara-selatan khatulistiwa, terjadi ”sabuk hujan”. Pada Desember di belahan
bumi utara mengalami musim dingin. Sedangkan Juni berlangsung musim panas.
Kondisi sebaliknya terjadi di belahan bumi selatan.
BMKG menyebutkan, tekanan udara di belahan bumi selatan lebih rendah
dibandingkan di belahan bumi utara. Potensi tekanan rendah diperkirakan terjadi
di barat Australia. Dan, pada akhir periode tekanan rendah akan muncul di
Samudra Hindia sebelah selatan Jawa.
Angin di atas wilayah Indonesia sebelah utara khatulistiwa umumnya dari
arah utara-timur. Sedangkan di selatan khatulistiwa dari arah barat daya-barat
laut, kecepatan angin 5-45 km per jam. Hujan terjadi di sebagian besar
Indonesia dan potensi hujan lebat dapat terjadi di Indonesia sebelah selatan
khatulistiwa.
Sabuk awan
Kondisi memanasnya suhu laut ternyata tak hanya terjadi di wilayah
Indonesia, tetapi juga di khatulistiwa di belahan bumi lain sehingga terbentuk
sabuk awan di sepanjang khatulistiwa. Kondisi ini mengakibatkan penjalaran
gelombang Rossby yang beredar di subtropis—berdampak pada hujan salju ekstrem
tertarik ke kawasan selatan. Hal inilah yang menyebabkan entakan udara dingin
atau cold surgehingga menimbulkan hujan lebat di Pakistan dan
selatan China.
Kondisi serupa berpotensi terjadi di Indonesia jika gelombang Rossby di
Siberia tertahan oleh masa udara dari Pasifik, hingga mengarah ke selatan.
Sejak November 2006 hingga 2007, BMKG memantau terjadinya cold surge dari
Siberia.
Cuaca ekstrem di luar kawasan khatulistiwa seperti di Australia, Amerika
Serikat, Inggris, dan daratan Eropa, merupakan dampak dari penyimpangan cuaca
di wilayah Nusantara yang merupakan ’mesin cuaca dunia’,” kata Edvin Aldrian,
Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika.
Peran perairan Nusantara, antara lain, dalam pendistribusian uap air
sehingga memengaruhi cuaca di Asia dan Australia serta kawasan di sekitar
Samudra Pasifik dan Hindia. Badan Pemantau Atmosfer dan Kelautan Amerika
Serikat (NOAA) bahkan menyebut tahun ini sebagai tahun terpanas pada abad ini.
Faktor pemanasan laut
Memanasnya suhu muka laut dan tidak terjadinya musim kemarau pada tahun
ini merupakan kondisi penyimpangan yang tergolong paling ekstrem pada data
pemantauan cuaca yang pernah dilakukan di Indonesia. Pemantauan kondisi
kelautan dan cuaca di Indonesia yang dilakukan Badan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika (BMKG) menunjukkan memanasnya suhu muka laut yang luas di wilayah
perairan Indonesia telah terlihat sejak Juli tahun 2009 dan bertahan hingga
kini.
Menghangatnya suhu muka laut di perairan Indonesia mulai terpantau
pertengahan tahun lalu, meski ketika itu terjadi El Nino dalam skala moderat.
”Ketika anomali cuaca ini muncul, suhu muka laut di timur Indonesia biasanya
mendingin. Namun yang terjadi sebaliknya,” ujar Edvin, yang sebelumnya adalah
peneliti cuaca di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Suhu permukaan laut di atas normal ini berlangsung hingga masuk periode
musim kemarau tahun ini. Suhu laut yang hangat pada Mei lalu ditunjang oleh
munculnya fenomena La Nina di Samudra Pasifik yang diikuti terjadinya Dipole
Mode di Samudra Hindia. Kedua fenomena ini mengakibatkan suplai massa udara
dari dua samudra itu ke wilayah Indonesia. Berdasarkan data curah hujan yang
tinggi sepanjang periode kemarau tahun ini, tidak tampak pola musim kemarau.
Menghangatnya perairan Indonesia akan menyebabkan terbentuknya uap air,
lalu menjadi awan dan guyuran hujan di wilayah Nusantara. Apabila berlangsung
lama, fenomena ini akan berpengaruh pada kawasan sekitar Indonesia hingga ke
lingkup global. Kondisi suhu laut yang hangat, menimbulkan tekanan udara rendah
di wilayah Indonesia, hal ini juga menyebabkan massa udara dari subtropis yang
bertekanan tinggi masuk ke wilayah tropis yang bertekanan rendah.
Penyimpangan cuaca yang telah berlangsung hampir setahun ini telah
berdampak luas ke daerah di luar khatulistiwa Indonesia, berupa kurangnya hujan
di daratan Asia Tenggara, seperti Vietnam dan Thailand, serta menimbulkan suhu
dingin yang ekstrem di kawasan subtropis.
Perubahan iklim
Tingginya suhu muka laut yang mengakibatkan musim hujan
berkepanjangan—tanpa kemarau—di Indonesia pada tahun ini diperkirakan merupakan
dampak dari pemanasan global—yaitu fenomena meningkatnya suhu bumi disebabkan
akumulasi gas rumah kaca di atmosfer yang bersifat menahan energi panas
matahari di permukaan bumi.
Berbagai dampak negatif pun muncul, seperti melelehnya es di kutub,
merebaknya penyakit parasit, dan meningkatkan keasaman air laut. Perubahan
iklim ini ditandai dengan perubahan pola curah hujan, terjadinya cuaca ekstrem
berupa munculnya gelombang udara panas, peningkatan frekuensi hujan lebat
hingga menimbulkan banjir di satu tempat dan kekeringan di tempat lain.
Pola turunnya hujan juga tidak merata di seluruh daerah. Akibat pemanasan
global, hujan akan banyak terjadi di wilayah dekat garis ekuator. Menurut
penelitian BMKG bekerja sama dengan Badan Meteorologi Jepang, 15 tahun lagi
Jawa akan kurang hujan, urai Sri Woro yang juga Kepala WMO (World
Meteorological Organization) Regional V.
Pemanasan global
Penyimpangan cuaca hingga iklim yang terlihat kian nyata ini merupakan
dampak dari pemanasan global akibat pelepasan gas-gas rumah kaca ke atmosfer
yang telah berlangsung semakin intensif sejak setengah abad terakhir.
Kondisi ini telah mengakibatkan akumulasi energi di atmosfer dan
mengganggu arus udara di atmosfer pada ketinggian 900 meter hingga 4.500 meter.
Akumulasi energi di atmosfer yang di atas normal menyebabkan daya tarik siklon
tropis di sekitar wilayah khatulistiwa (di perairan selatan Filipina dan utara
Australia) lebih kuat dan jauh, sehingga mengakibatkan badai yang terbentuk
berekor lebih panjang.
Gelombang Rossby
Pemanasan suhu laut yang berlangsung lama di Indonesia hingga kini belum
diketahui penyebabnya. Namun, diyakini telah berpengaruh bagi cuaca global,
yaitu suhu dingin yang ekstrem di wilayah subtropis dan lintang tinggi.
Sementara itu, pakar astrofisika dan astronomi dari Lembaga Penerbangan
dan Antariksa Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin, berpendapat, kondisi cuaca
itu menurut studi pendahuluan yang dilakukannya merupakan indikasi dari
pengaruh Matahari yang minimum, yang nyaris tidak menunjukkan adanya bintik
Matahari atau sun spot dalam beberapa tahun terakhir.
Pendinginan ekstrem yang menjalar di kawasan subtropis dan lintang
tinggi, kata Edvin Aldrian (Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), merupakan gangguan cuaca yang
disebut Gelombang Rossby, yang terus bergerak dalam periode 10 hingga 15 hari.
Polanya hampir mirip dengan Madden Julian Oscillation (MJO) di kawasan tropis,
termasuk Indonesia, tetapi periode MJO berlangsung 50 harian.
Melihat pola pergerakan Gelombang Rossby, yaitu mulai dari Chicago, New
York, London, dan kini telah sampai daratan Eropa Barat, serta menimbulkan
dampak suhu yang sangat dingin, diperkirakan gelombang ini akan terus bergerak
ke Siberia, Rusia, dan dapat menimbulkan hujan salju yang ekstrem.
"Apabila Siberia mengalami cuaca buruk atau blocking,
ada kemungkinan akan muncul entakan udara yang membawa uap air dalam jumlah
besar, lalu menjalar ke selatan hingga ke wilayah Indonesia," paparnya.
“Daerah yang dilewati seperti Guangzhou dan Hongkong akan mengalami penurunan
tekanan udara yang drastis seperti kejadian tahun 2005 dan 2007”.
Langkah antisipatif
Pemanasan global atau perubahan iklim lebih lanjut akan mengacaukan pola
tanam dan meningkatkan pertumbuhan hama tanaman hingga menggagalkan panen.
Selain petani, para nelayan pun akan terpukul akibat gangguan cuaca itu. Mereka
tidak dapat melaut karena gelombang laut yang tinggi.
Untuk mendukung komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi karbon
dioksida (CO) sebesar 26 persen pada tahun 2020, BMKG mengusulkan penambahan
dua Stasiun GAW (Global Atmosphere Watch) di Sulawesi Tengah dan Papua untuk
meningkatkan observasi CO di Indonesia. Ini memerlukan dukungan seluruh sumber
daya yang ada, seperti anggaran, kemauan politis pemerintah, dan kemampuan
sumber daya manusia.
Sumber Referensi :
http://sains.kompas.com
No comments:
Post a Comment