Pertambakan
Istilah tambak diambil dari Bahasa
Jawa “nambak” yang berarti membendung air dengan pematang, sehingga terkumpul
pada suatu tempat yang biasa dilakukan di pesisir pantai. Bangunan ini
terkumpul pada suatu tempat yang biasa di pesisir pantai. Bangunan ini tidak
dikatakan kolam karena arti kolam adalah petakan berpematang yang berisi air
tawar dan terdapat di daerah pedalaman (Soeseno, 1983).
Daya dukung lahan pesisir disuatu
lokasi untuk pertambakan ditentukan oleh mutu air tanah, sumber air (asin dan
tawar), hidro-oseanografi (arus, pasang surut), topografi, klimatologi daerah
pesisir dan hulu. Faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap produksifitas dan
kelestarian tambak (Poernomo dalam Husein, 1999).
Kegiatan budidaya perikanan adalah
kegiatan pemenfaatan dan pengelolaan lingkungan perairan untuk membesarkan
biota air secara optimal. Agar kegiatan budidaya perairan dapat berkelanjutan
dan optimal maka pemeliharaan lokasi dilakukan secara benar dan menurut
kaidah-kaidah ekologi dan ekonomis (Dahuri et al., 1997a).
a.
Pemilihan
Lokasi Pertambakan
Pemilihan lokasi merupakan tahapan
pertama yang sangat penting bagi keberhasilan usaha budidaya udang yang
berskala besar ataupun terpadu.
Secara garis besar informasi utama
yang diperlukan pada saat pemilihan lokasi adalah tentang kondisi biofisik
(dari mulai kualitas dan kuantitas air sampai vegetasi), dari lahan perairan
yang akan dikembangkan untuk kegiatan budidaya dan persyaratan biofisik utuk
kegiatan budidaya perairan itu sendiri (Dahuri et al., 1997a).
Menurut Poernomo dalam Husein
(1999) pemilihan lokasi merupakan titik awal yang sangat menentukan
keberhasilan suatu budidaya di tambak. Pemilihan lokasi yang salah atau kurang
tepat akan menimbulkan masalah termasuk tambahan masukan dan biaya operasional
lebih besar serta dampak lingkungan yang merugikan. Ada beberapa factor yang
perlu dipertimbangkan dalam memilih lokasi untuk tambak (Saimun dan
Ranoemiharjo, 1984), faktor-faktor tersebut antara lain:
a) Topografi
Lokasi
pertambakan sebaiknya dihindari tempat yang tanahnya bergelombang, karena akan
memerlukan biaya dalam penggalian dan perataan tanah. Penggalian tanah yang
banyak dan dalam menyebabkan lapisan tanah atas yang subur terbuang. Daerah
dekat sungai dan pantai pada umumnya baik untuk pertambakan.
b) Lereng
Tempat
yang akan dibuat lokasi tambak sebaiknya mempunyai elevasi tertentu sehingga
memperlancar pengelolaan air. Tambak cukup mendapatkan air pada saat pasang
biasa dan dapat dikeringkan pada saat surut biasa. Tempat yang hanya dapat
diairi pada saat pasang tertinggi kurang baik untuk tambak.
c)
Sumber
Air
Tempat
yang baik untuk pertambakan adalah tempat yang mempunyai fluktuasi pasang surut
1,5-22,5 meter. Akan lebih baik apabila tempat dekat sungai yang airnya dapat
dialirkan ke tambak, sehingga memudahkan pengaturan salinitas di tambak.
d) Jenis Tanah
Jenis
tanah yang baik untuk tambak adalah liat berpasir atau liat berlumpur. Jenis
tanah tersebut selain baik untuk tempat pertumbuhan makanan alami udang/ikan,
juga baik untuk pematang
e)
Vegetasi
Jumlah
dan ukuran tumbuh-tumbuhan di suatu tempat akan mempengaruhi dalam pembuatan
tambak. Pada tempat yang sedikit ditumbuhi pohon-pohon, pembuatan, tambak akan
lebih mudah dan biayanya relative rendah. Tempat yang banyak ditumbuhi pohon-pohon besar memerlukan biaya
relatif tinggi dan alat-alat besar untuk membuangnya.
Tabel 2.1 Matrik kesesuaian lahan untuk tambak
1.
Penutupan
Lahan
Penutupan Lahan (land cover) dan
penggunaan lahan (land use) adalah istilah yang seringkali diberi pengertian
yang sama, padahal keduanya mempunyai pengertian yang berbeda, istilah
penutupan lahan (land cover) berkaitan dengan jenis kenampakan di permukaan
bumi, sedangkan penggunaan lahan (land use) berkaitan dengan kegiatan manusia
pada bidang tertentu.
Penutupan lahan ini bersifat
dinamis terutama di wilayah yang pesat perkembangannya dan di daerah yang
labil. Penyebab utama perubahan ini dapat dibagi kedalaman dua kategori yaitu
perubahan karena aktivitas manusia dan perubahan karena sifat lahannya sendiri
yang berubah. Perubahan karena manusia sangat menonjol terutama karena factor
aksesibilitas, pesatnya laju pertumbuhan penduduk dan jarak lokasi terhadap
pusat kegiatan. Perubahan karena sifat lahannya sendiri banyak disebabkan
karena pengaruh alam seperti abrasi pantai, erosi, dan perubahan karena iklim
(Lillesand dan Kiefer, 1990)
2.
Pengindraan
Jauh
Pengindraan jauh adalah ilmu dan
seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau fenomena melalui
analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa kontak langsung dengan obyek,
daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990).
Objek yang diamati adalah objek
yang berada di permukaan bumi. Informasi tentang objek, daerah dan fenomena
yang diteliti didapatkan dari analisis data yang dikumpulkan oleh sensor dari
jarak jauh. Sensor ini memperoleh data tentang kenampakan di muka bumi melalui
energy elektromagnetik yang dipancarkan dan dipantulkan. Dalam interpretasi
citra satelit diperlukan delapan unsur interpretasi yaitu : ukuran, bentuk,
bayangan, panjang gelombang, warna, tekstur, pola objek, dan keadaan.
Didalam pengelolaan wilayah laut
dan pesisir pengindraan jauh digunakan antara lain untuk pemetaan distribusi
suhu permukaan laut, pemetaan daerah mangrove, tambak dan pemetaan perubahan
garis pantai. Data yang diperoleh dari pengindraan jauh bersifat multispectral
(dari berbagai daerah spectrum), multilevel (berbagai ketinggian) dan
multitemporal (data yang diperoleh waktunya berurutan ). Teknologi pengindraan
jauh mempunyai beberapa komponen yang saling berhubungan seperti yang terlihat
pada gambar 1 (Lillesand dan kiefer, 1990), yaitu:
1) Sumber
energi yang berupa energy elektromagnetik
2) Atmosfer,
merupakan media lintasan dari energy elektromagnetik
3) Interaksi
antara energy dan objek
4) Sensor,
yaitu alat yang mendeteksi energy elektromagnetik dari suatu objek dan
merubahnya kedalam bentuk sinyal yang dapat diproses dan direkam
5) Perolehan
data, dapat dilakukan dengan cara manual yakni dengan interpretasi secara
visual dapat pula dilakukan secara digital yakni dengan computer
6) Penggunaan
data
Menurut Lillesand dan Kiefer (1990)
bahwa prinsip dasar dalam pengindraan jauh dengan energi gelombang
elektromagnetik untuk sumber daya alam ada dua, yaitu pengumpulan dan analisis
data. Elemen proses pengumpulan data meliputi sumber energy, perjalanan energy
melalui atmosfer, interaksi antara energy dengan kenampakan di muka bumi,
sensor wahana satelit dan atau pesawat terbang dan hasil pembentukan data
meliputi pengujian data dengan menggunakan alat interpretasi dan alat
pengamatan analisis data pictorial dan atau computer untuk menganalisis data
sensor numerik.
Dan
satelit Landsat 8 LDCM (Landsat Data Continuity Mission) yang merupakan
satelit terbaru yang diluncurkan Amerika Serikat pada tanggal 11 Februari 2013
dan masih berfungsi sampai sekarang memiliki 11 band (Tabel 2.4) dan
kegunaannya (Tabel 2.2) sebagai berikut:
Tabel
2.2 Saluran pada citra landsat 8
Sensor
pencitra OLI (Operational Land Imager) pada LDCM (Landsat-8) yang mempunyai 1
kanal inframerah-dekat dan 7 kanal tampak reflektif, akan meliput
panjang-gelombang panjang-gelombang elektromagnetik yang direfleksikan oleh
objek pada permukaan Bumi, dengan resolusi spasial 30 meter. Sensor pencitra
OLI mempunyai kemampuan resolusi spasial
dan resolusi spektral yang menyerupai sensor ETM+ (Enhanced Thermal Mapper plus) dari Landsat-7.
Ketersediaan
kanal-kanal spectral reflektif dari sensor pencitra OLI pada LDCM (Landsat-8)
yang menyerupai kanal-kanal spektral
reflektif ETM+ (Enhanced Thermal Mapper plus) dari Landsat-7, memastikan kontinuitas data untuk deteksi dan pemantauan
perubahan objek-objek pada permukaan Bumi global. Untuk mengatasi kontinuitas
data Landsat-7 pada kanal inframerah termal, pada tahun 2008, program LDCM
(Landsat-8) menetapkan sensor pencitra Thermal Infrared Sensor (TIRS) sebagai
pilihan (optional), yang dapat menghasilkan kontinuitas data untuk kanal-kanal
inframerah termal yang tidak dicitrakan oleh OLI ((NASA,2008)
Dalam
pemanfaatan data satelit LDCM (Landsat-8) atau data inderaja lainnya,
yang
berorientasi pada ketersediaan data dan
kebutuhan jenis informasi, faktor-faktor yang menjadi pertimbangan untuk
melaksan akan aplikasi kasus-kasus
pemetaan atau perencanaan wilayah, pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan
maupun untuk pengelolaan bencana alam
dan lain sebagainya dengan hasil yang efektif dan efisien adalah: 1)
Pemilihan data yang menyangkut: pemilihan kanal/resolusi
atau kombinasi kanal spektral dan resolusi spasial, resolusi temporal
dan resolusi radiometrik serta luas liputan satu citra, 2) Penentuan
prosedur
atau teknik dan metode pengolahan dan analisis data citra Kemampuan
pencitraan
multi-spektral telah lama menjadi pusat program satelit seri Landsat.
Satelit-satelit seri Landsat membawa sensor-sensor yang mampu untuk
melakukan
pendeteksian gelombang elektromagnetik yang direfleksikan dan radiasi
elektromagnetik yang diemisikan dalam beragam panjang-gelombang diskrit
dari
spektrum tampak dan inframerah termal. Dengan menggabungkan kanal-kanal
spektral ini menjadi citra-citra berwarna, para pengguna mampu
mengidentifikasi dan membedakan karakteristik
dan kondisi-kondisi ciri-ciri penutup lahan, bahkan yang paling halus
kanal-kanal multispektral data satelit seri Landsat dengan resolusi
spasial 30 meter adalah ideal untuk
pendeteksian, pengukuran, dan untuk menganalisis perubahan-perubahan
objek-objek pada permukaan Bumi pada level yang rinci, dimana pengaruh
alamiah
dan aktifitas yang diakibatkan manusia, dapat diidentifikasi dan dinilai
secara
akurat. Aplikasi yang paling penting dari data citra multispektral dari
satelit
seri Landsat adalah pendeteksian dan pematauan perubahan-perubahan pada
permukaan.
Dalam
penelitian ini citra satelit yang digunakan adalah citra Landsat 8 yang sudah
dilakukan proses geometri. Adapun tahapan dalam menganalisi citra satelit
Landsat 8 adalah penajaman citra dan klasifikasi citra penggunaan lahan.
Sebelum
menampilkan data citra untuk analisis visual, teknik penajaman dapat diterapkan
untuk menguatkan penambahan kontras citra. Pada berbagai peneraoan untuk
menguatkan penampakan kontras citra. Pada berbagai penerapan langkah ini banyak
meningkatkan jimlah informasi yang dapat diinterpretasikan secara visual
(Lillesand dan Kiefer, 1990). Klasifikasi citra Landsat 8 di kabupaten Lampung
Timur bertujuan untuk mengelompokkan kelas-kelas penggunaan lahan yang ada di
dalamnya. Teknik pengklasifikasian penutupan lahan yang digunakan adalah
klasifikasi dengan interpretasi secara visual.
Data
Citra hasil klasifikasi ini digunakan untuk mengetahui kelas penggunaan lahan
dan sebagai pembanding terhadap peta penggunaan lahan. Data citra ini tidak
digunakan sebagai data dasar untuk menyusun
kelas kesesuaian lahan.
1.
Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem
Informasi Geografis (SIG) pada dasarnya merupakan gabungan tiga unsur pokok
yaitu sistem, informasi dan geografis. Dengan melihat unsur–unsur pokoknya,
maka jelas sistem informasi geografis merupakan salah satu sistem informasi
dengan tambahan unsur “geografis”. Sistem Informasi Geografis diartikan sebagai
sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali,
mengolah, menganalisis dan menghasilkan data bereferensi geografis atau data
geospatial, untuk mendukung keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan
penggunaan lahan, sumber daya alam, lingkungan transportasi, fasilitas kota dan
pelayanan umum lainnya.
Jadi
SIG diartikan sebagai suatu rangkaian kegiatan pengumpulan, penataan,
pengolahan, dan penganalisaan data/fakta spasial sehingga diperoleh informasi
spasial untuk menjawab suatu masalah dalam ruang muka bumi tertentu. System ini
sudah ada sebelum computer ditemukan dan merupakan kegiatan rutin seorang
geograf (Amri, 2001).
SIG
sebagai system computer yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, dan
personal (manusia) yang dirancang untuk secara efisien memasukkan, menyimpan,
memperbaharui, memanipulasi, menganalisa, dan menyajikan semua jenis informasi
yang berorientasi geografis (ESRI dan Aronoff, dalam Purwanto, 201). Untuk
keperluan operasional, terdapat 4 komponen utama dari SIG yaitu : (1) Perangkat
keras (2) Perangkat lunak computer (3) Basis data dan (4) Sumber daya/kemampuan
pengguna (Margurie dalam Purwanto, 2001). Pemilihan Perangkat Lunak SIG
tergantung pada kebutuhan pengguna atau disesuaikan dengan aplikasi yang akan
dipakai. Basis data merupakan komponen penting dalam SIG. Upaya pembuatan dan
pemeliharaan basis data selayaknya telah diperhitungkan sebelum memutuskan
penggunaan SIG, khususnya di negara-negara di mana basis data digital tidak
tersedia meski sistem geografi telah dilakukan. Diperkirakan lebih dari 80%
upaya dibutuhkan untuk membangun basis data sebelum digunakan (Purwanto, 2001).
a.
Penyajian Spasial
Data
yang digunakan untuk menganalisis sumberdaya pesisir dan lautan dibuat
berdasarkan aplikasi SIG (Sistem Informasi Geografi) yang dikelompokkan menjadi
2 macam, yaitu data spasial dan data atribut.
Dalam
merancang basis data, data spasial dikelompokkan menjadi dua macam layer, yaitu
layer dasar dan layer tematik. Misalnya layer dasar terdiri dari data wilayah
administrasi (ADMIN), jaringan jalan (JALAN), hidrologi (HIDRO), dan
infrastruktur minyak (INFRA). Layer tematik merupakan layer landuse, yang
terbagi ke dalam layer mangrove, tambak, perairan terbuka, tegalan, pemukiman,
sawah, dan pantai berpasir (Purwanto, 2001)
2.
Aplikasi SIG Pada Tataruang Wilayah
Pesisir dan Laut
Aplikasi
SIG sudah banyak digunakan untuk pengolahan penggunaan lahan di bidang
pertanian, kehutanan serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya
(transportasi). Hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG telah tersebar luas
pada bidang militer, pemodelan perubahan iklim global dan geologi, terutama
dengan menggunakan SIG tiga dimensi.
Tabel
memperlihatkan beberapa aplikasi SIG di wilayah pesisir khususnya di bidang
perikanan (Purwanto, 2001)
Tabel
2.3 Beberapa Aplikasi SIG di wilayah Pesisir
Aplikasi
|
Keterangan
|
1.
Pengelolaan
lahan
|
Pembuatan
beberapa profil DAS di areal kehutanan, lahan budidaya, daerah pemukiman,
perubahan garis pantai, tanah payau, tanah pasir dengan kemiringan 3-6% dan
parameter lain untuk memperkirakan sumber air
|
2.
Pengelolaan
habitat air tawar
|
Studi kasus dalam analisis dampak pencemaran. Membangun
basis data untuk habitat yang potensial, data atribut dari kondisi habitat
dan aliran arus, DAS, lokasi pembangunan bahan pencemar. Menggambarkan dampak
di bagian hilir sungai terhadap prosentasi kehilangan produksi ikan. Analisis
habitat yang terpengaruh oleh bahan pencemar, dan konversi areal habitat
untuk pemeliharaan ikan.
|
3.
Pengelolaan
habitat di air tawar
|
membangun basis data untuk beberapa atribut data,
kedalaman, tipe sedimen. Membangun criteria untuk model kesesuaiaan habitat
dengan menggambarkan hubungan antara variabel spasial. Overlay peta untuk
memproduksi data yang dihasilkan.
|
-
Potensi
budidaya
|
Dalam penentuan lokasi yang sesuai untuk budidaya udang
diperlukan beberapa data, antara lain: salinitas, jenis tanah, pola curah
hujan, penggunaan lahan, jenis tanah, hidrologi, geomorfologi pantai, dan
karakteristik meteorology. Lokasi yang sesuai untuk pembenihan udang dan ikan
memerlukan data sebagai berikut : Kualitas air, pola penggunaan lahan, jarak
dari sumber air, geomorfologi
|
-
Studi
sumberdaya wilayah pesisir
|
Identifikasi variabel social ekonomi yang terpengaruh
akibat pembangunan di wilayah pesisir. Data yang digunakan adalah populasi,
ketenagakerjaan, tingkat pendapatan tingkat pendidikan, infrastruktur dan fasilitas
umum.
|
-
Perencanaan
wilayah pesisir
|
Didasarkan pada karakteristik biofisik/ekologi dari
wilayah pesisir dibandingkan dengan criteria kebutuhan biofisik untuk
berbagai kegiatan pembangunan. Wilayah pesisir Kalimantan Timur dapat dibagi
menjadi beberapa tipe kegiatan pembangunan seperti pemukiman, sawah, tambak,
pertambangan dan padang penggembalaan
|
Sumber : Purwanto, 2001
3.
Kriteria SIG Untuk Pengelolaan
Wilayah Pesisir
Penentuan
SIG untuk berbagai penggunaan harus ditetapkan terlebih dahulu. Sebagian besar
penggunaan SIG adalah untuk pengelolaan sumberdaya alam. Kriteria utama yang
harus dipertimbangkan pada saat evaluasi kesesuaian SIG bagi pengelolaan
wilayah pesisir adalah sebagai berikut:
1) Model dan struktur data yang
digunakan dapat dipakai pada wilayah yang luas dengan ketelitian dan resolusi
yang tinggi.
2) Data spasial maupun non spasial yang
telah tersusun, dapat diperbaiki. Disimpan, dapat diambil pada saat tertentu
dan dapat ditampilkan secara efisien dan efektif.
3) Tersedianya peralat dengan kemampuan
analisis spasial untuk pemodelan wilayah pesisir, yang dapat melakukan
proses-proses analisis dan pemodelan tersebut. Volume dan kapasitas dari SIG
juga penting dipertimbangkan terutama untuk proyek-proyek besar. Tetapi hal ini
dapat ditanggulangi dengan berbagai konfigurasi perangkat keras (Purwanto,
2001).
a.
Integrasi Pengindraan Jauh dan SIG
Menurut
Baja (1996) dalam Husein (1999),
perkembangan teknologi komputer serta semakin banyaknya system satelit
pengindraan jauh yang diluncurkan telah membuat kemajuan yang sangat
spektakuler dibidang pengindraan jauh dan system informasi geografi.
Data
input SIG dapat beragam jenis serta formatnya. Salah satu contohnya adalah
informasi yang diperoleh melalui pemanfaatan teknologi inderaja baik berupa
hasil interpretasi foto udara maupun penerapan metode pemrosesan citra
(digital) diinkorporasikan kedalam teknologi SIG. Dengan berbasis permukaan
bumi dalam SIG, dimmungkinkan adanya penggabungan beragam informasi, baik
spasial maupun deskriptif.
Dalam
melakukan perencanaan pada level tertentu, seseorang perencana seringkali
dihadapkan pada berbagai ragam format data yang berbeda seperti dalam hal
skala, resolusi spasial dan spectral, saat data tersebut direkam atau dibuat,
system permukaan bumi, batas wilayah terwakili, dan sebagainya. Selain
perbedaan-perbedaan tersebut Informasi yang berbasis Inderaja serta yang
dikelola dan dihasilkan oleh SIG sangat berbeda dalam hal kombinasi format.
Data digital yang diterima langsung dari sensor atau pengindera satelit maupun
yang diperoleh dari terapan klasifikasi citra secara digital adalah dalam
format raster. Sementara itu data masukan SIG melalui digitasi adalah dalam
bentuk vector. Teknologi SIG memiliki fasilitas sistem integrasi yang berperan
dalam menangani kumpulan informasi yang berbeda-beda sehingga perbedaan
tersebut dapat dibuat kompatibel dan termanfaatkan, sehingga dalam menganalisis
lahan ambak dapat dilakukan menggunakan aplikasi teknologi pengindraan jauh dan
SIG.
Sumber :
Amri, A. 2001. Sistem Informasi Geografi (SIG)
www.
Bakosurtanal. go.id/ SignasVI/paper_SIG_Asmarul.pdf. 9 Januari 2004.
Bakri, M. F. 1998. Aplikasi Pengindraan
Jauh dan Sistem Informasi Geografi Dalam Mengevaluasi Kesesuaian Lahan Tambak
Di Kecamatan Malili. Skripsi (tidak di publikasikan). Jurusan Ilmu Kelautan,
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Unhas. Ujung Pandang.
CRMP, 1998a. An An Analisys of
Aquaculture in the Coastal Areas of Lampung Evolution, Status, and Potensial
1998. Technical Report Lampung. Bandar Lampung
CRMP, 1998b. Profil Habitat Perairan
Pantai Profinsi Lampung. Technical Report CRMP Lampung. Bandar Lampung.
Lampung.
Dahuri, R., Jacob Rais, Sapta Putra
Ginting. Mj. Sitepu. 1997a. pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut
Secara Terpadu. Penerbit Pradya Paramita. Jakarta.
Dahuri, R., Budi. W., Darmawan.
1997b. laporan Peninjauan Lapang ke Propinsi Lampung dalam Rangka Pemilihan
Lokasi Proyek Pesisir. Technical Report. Lampung
Direktorat Pembudidayaan. 2002.
Kumpulan Materi Pelatihan Petugas Teknis Budidaya Udang. Departemen Kelautan
dan Perikanan. Jepara.
Husein. 1999. Pemanfaatan
Pengindraan Jauh dan Sistem Infoemasi Geografi (SIG) untuk Kesesuaian Lahan
Tambak di Kecamatan Mamuju, Sulawesi Selata. Skripsi (tidak dipublikasikan).
Jurusan Ilmu Kelautan, fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Lillesand,T.M dan F.W. Kiefer.,
1990. Pengindraan Jauh dan Interpretasi Citra. Alih bahasa: R. Dulbahri. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.
Mintardjo, K., A. Sunaryo, Utami
Ningsih. Hermiyaningsih. 1984. Persyaratan Tanah dan Air untuk Tambak. Dirjen
Perikanan. Jakarta.
Prahasta, E. 2002. Sistem Informasi
Geografi : Tutorial ArcView. Penerbit Informatika Bandung.
Purwanto, A. B. 2001. Peran Sistem
Informasi Geografi dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan secara
Berkelanjutan.
www.
Bakosurtanal.go.idVI/papers/paper_SIG pesisir Arief.pdf. 14 juni 2015.
Saimun. S., b. Ranoemiharjo.,
1984.Teknik Pembuatan Tambak. Dirjen Perikanan, Jakarta.
Soeseno, S. 1983. Budidaya Ikan dan
Udang dalam Tambak. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.
Yustiningsih, N.
1997. Aplikasi System Informasi Geografi (SIG) didalam Evaluasi Kesesuaian
Lahan untuk Perikanan Tambak dan Potensi Pengembangan di Teluk Banten dalam
Remote Sensing and Geographic Information System Year Book 96/97. BPP
Teknologi. Jakarta.
No comments:
Post a Comment