Sunday, May 14, 2017

Analisis Kesesuaian Lahan Tambak Dengan Memanfaatkan Pengindraan Jauh dan Sistem Imformasi Geografi

Pertambakan

Istilah tambak diambil dari Bahasa Jawa “nambak” yang berarti membendung air dengan pematang, sehingga terkumpul pada suatu tempat yang biasa dilakukan di pesisir pantai. Bangunan ini terkumpul pada suatu tempat yang biasa di pesisir pantai. Bangunan ini tidak dikatakan kolam karena arti kolam adalah petakan berpematang yang berisi air tawar dan terdapat di daerah pedalaman (Soeseno, 1983).

Daya dukung lahan pesisir disuatu lokasi untuk pertambakan ditentukan oleh mutu air tanah, sumber air (asin dan tawar), hidro-oseanografi (arus, pasang surut), topografi, klimatologi daerah pesisir dan hulu. Faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap produksifitas dan kelestarian tambak (Poernomo dalam Husein, 1999).

Kegiatan budidaya perikanan adalah kegiatan pemenfaatan dan pengelolaan lingkungan perairan untuk membesarkan biota air secara optimal. Agar kegiatan budidaya perairan dapat berkelanjutan dan optimal maka pemeliharaan lokasi dilakukan secara benar dan menurut kaidah-kaidah ekologi dan ekonomis (Dahuri et al., 1997a).

a.       Pemilihan Lokasi Pertambakan

Pemilihan lokasi merupakan tahapan pertama yang sangat penting bagi keberhasilan usaha budidaya udang yang berskala besar ataupun terpadu.

Secara garis besar informasi utama yang diperlukan pada saat pemilihan lokasi adalah tentang kondisi biofisik (dari mulai kualitas dan kuantitas air sampai vegetasi), dari lahan perairan yang akan dikembangkan untuk kegiatan budidaya dan persyaratan biofisik utuk kegiatan budidaya perairan itu sendiri (Dahuri et al., 1997a).

Menurut Poernomo dalam Husein (1999) pemilihan lokasi merupakan titik awal yang sangat menentukan keberhasilan suatu budidaya di tambak. Pemilihan lokasi yang salah atau kurang tepat akan menimbulkan masalah termasuk tambahan masukan dan biaya operasional lebih besar serta dampak lingkungan yang merugikan. Ada beberapa factor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih lokasi untuk tambak (Saimun dan Ranoemiharjo, 1984), faktor-faktor tersebut antara lain:

a)  Topografi
Lokasi pertambakan sebaiknya dihindari tempat yang tanahnya bergelombang, karena akan memerlukan biaya dalam penggalian dan perataan tanah. Penggalian tanah yang banyak dan dalam menyebabkan lapisan tanah atas yang subur terbuang. Daerah dekat sungai dan pantai pada umumnya baik untuk pertambakan.

b) Lereng
Tempat yang akan dibuat lokasi tambak sebaiknya mempunyai elevasi tertentu sehingga memperlancar pengelolaan air. Tambak cukup mendapatkan air pada saat pasang biasa dan dapat dikeringkan pada saat surut biasa. Tempat yang hanya dapat diairi pada saat pasang tertinggi kurang baik untuk tambak.

c)   Sumber Air
Tempat yang baik untuk pertambakan adalah tempat yang mempunyai fluktuasi pasang surut 1,5-22,5 meter. Akan lebih baik apabila tempat dekat sungai yang airnya dapat dialirkan ke tambak, sehingga memudahkan pengaturan salinitas di tambak.
     
d) Jenis Tanah
Jenis tanah yang baik untuk tambak adalah liat berpasir atau liat berlumpur. Jenis tanah tersebut selain baik untuk tempat pertumbuhan makanan alami udang/ikan, juga baik untuk pematang
e)   Vegetasi
Jumlah dan ukuran tumbuh-tumbuhan di suatu tempat akan mempengaruhi dalam pembuatan tambak. Pada tempat yang sedikit ditumbuhi pohon-pohon, pembuatan, tambak akan lebih mudah dan biayanya relative rendah. Tempat yang banyak  ditumbuhi pohon-pohon besar memerlukan biaya relatif tinggi dan alat-alat besar untuk membuangnya.


Tabel 2.1 Matrik kesesuaian lahan untuk tambak


1.       Penutupan Lahan
Penutupan Lahan (land cover) dan penggunaan lahan (land use) adalah istilah yang seringkali diberi pengertian yang sama, padahal keduanya mempunyai pengertian yang berbeda, istilah penutupan lahan (land cover) berkaitan dengan jenis kenampakan di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan (land use) berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang tertentu.

Penutupan lahan ini bersifat dinamis terutama di wilayah yang pesat perkembangannya dan di daerah yang labil. Penyebab utama perubahan ini dapat dibagi kedalaman dua kategori yaitu perubahan karena aktivitas manusia dan perubahan karena sifat lahannya sendiri yang berubah. Perubahan karena manusia sangat menonjol terutama karena factor aksesibilitas, pesatnya laju pertumbuhan penduduk dan jarak lokasi terhadap pusat kegiatan. Perubahan karena sifat lahannya sendiri banyak disebabkan karena pengaruh alam seperti abrasi pantai, erosi, dan perubahan karena iklim (Lillesand dan Kiefer, 1990)

2.       Pengindraan Jauh
Pengindraan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990).
         
Objek yang diamati adalah objek yang berada di permukaan bumi. Informasi tentang objek, daerah dan fenomena yang diteliti didapatkan dari analisis data yang dikumpulkan oleh sensor dari jarak jauh. Sensor ini memperoleh data tentang kenampakan di muka bumi melalui energy elektromagnetik yang dipancarkan dan dipantulkan. Dalam interpretasi citra satelit diperlukan delapan unsur interpretasi yaitu : ukuran, bentuk, bayangan, panjang gelombang, warna, tekstur, pola objek, dan keadaan.

Didalam pengelolaan wilayah laut dan pesisir pengindraan jauh digunakan antara lain untuk pemetaan distribusi suhu permukaan laut, pemetaan daerah mangrove, tambak dan pemetaan perubahan garis pantai. Data yang diperoleh dari pengindraan jauh bersifat multispectral (dari berbagai daerah spectrum), multilevel (berbagai ketinggian) dan multitemporal (data yang diperoleh waktunya berurutan ). Teknologi pengindraan jauh mempunyai beberapa komponen yang saling berhubungan seperti yang terlihat pada gambar 1 (Lillesand dan kiefer, 1990), yaitu:

1)      Sumber energi yang berupa energy elektromagnetik
2)      Atmosfer, merupakan media lintasan dari energy elektromagnetik
3)      Interaksi antara energy dan objek
4)      Sensor, yaitu alat yang mendeteksi energy elektromagnetik dari suatu objek dan merubahnya kedalam bentuk sinyal yang dapat diproses dan direkam
5)      Perolehan data, dapat dilakukan dengan cara manual yakni dengan interpretasi secara visual dapat pula dilakukan secara digital yakni dengan computer
6)      Penggunaan data


Menurut Lillesand dan Kiefer (1990) bahwa prinsip dasar dalam pengindraan jauh dengan energi gelombang elektromagnetik untuk sumber daya alam ada dua, yaitu pengumpulan dan analisis data. Elemen proses pengumpulan data meliputi sumber energy, perjalanan energy melalui atmosfer, interaksi antara energy dengan kenampakan di muka bumi, sensor wahana satelit dan atau pesawat terbang dan hasil pembentukan data meliputi pengujian data dengan menggunakan alat interpretasi dan alat pengamatan analisis data pictorial dan atau computer untuk menganalisis data sensor numerik.

Dan satelit Landsat 8 LDCM (Landsat Data Continuity Mission) yang merupakan satelit terbaru yang diluncurkan Amerika Serikat pada tanggal 11 Februari 2013 dan masih berfungsi sampai sekarang memiliki 11 band (Tabel 2.4) dan kegunaannya (Tabel 2.2) sebagai berikut:

Tabel 2.2 Saluran pada citra landsat 8

Sensor pencitra OLI (Operational Land Imager) pada LDCM (Landsat-8) yang mempunyai 1 kanal inframerah-dekat dan 7 kanal tampak reflektif, akan meliput panjang-gelombang panjang-gelombang elektromagnetik yang direfleksikan oleh objek pada permukaan Bumi, dengan resolusi spasial 30 meter. Sensor pencitra OLI  mempunyai kemampuan resolusi spasial dan resolusi spektral yang menyerupai sensor ETM+ (Enhanced  Thermal Mapper plus) dari Landsat-7.
Ketersediaan kanal-kanal spectral reflektif dari sensor pencitra OLI pada LDCM (Landsat-8) yang menyerupai  kanal-kanal spektral reflektif ETM+ (Enhanced Thermal Mapper plus) dari Landsat-7, memastikan  kontinuitas data untuk deteksi dan pemantauan perubahan objek-objek pada permukaan Bumi global. Untuk mengatasi kontinuitas data Landsat-7 pada kanal inframerah termal, pada tahun 2008, program LDCM (Landsat-8) menetapkan sensor pencitra Thermal Infrared Sensor (TIRS) sebagai pilihan (optional), yang dapat menghasilkan kontinuitas data untuk kanal-kanal inframerah termal yang tidak dicitrakan oleh OLI ((NASA,2008)

Dalam pemanfaatan data satelit LDCM (Landsat-8) atau data inderaja lainnya, yang berorientasi pada  ketersediaan data dan kebutuhan jenis informasi, faktor-faktor yang menjadi pertimbangan untuk melaksan akan  aplikasi kasus-kasus pemetaan atau perencanaan wilayah, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan maupun  untuk pengelolaan bencana alam dan lain sebagainya dengan hasil yang efektif dan efisien adalah: 1) Pemilihan  data yang menyangkut: pemilihan kanal/resolusi atau kombinasi kanal spektral dan resolusi spasial, resolusi  temporal dan resolusi radiometrik serta  luas liputan satu citra, 2) Penentuan prosedur atau teknik dan metode pengolahan dan analisis data citra Kemampuan pencitraan multi-spektral telah lama menjadi pusat program satelit seri Landsat. Satelit-satelit seri Landsat membawa sensor-sensor yang mampu untuk melakukan pendeteksian gelombang elektromagnetik yang direfleksikan dan radiasi elektromagnetik yang diemisikan dalam beragam panjang-gelombang diskrit dari spektrum tampak dan inframerah termal. Dengan menggabungkan kanal-kanal spektral ini menjadi citra-citra berwarna, para pengguna mampu  mengidentifikasi dan membedakan karakteristik dan kondisi-kondisi ciri-ciri penutup lahan, bahkan yang paling halus kanal-kanal multispektral data satelit seri Landsat dengan resolusi  spasial 30 meter adalah ideal untuk pendeteksian, pengukuran, dan untuk menganalisis perubahan-perubahan objek-objek pada permukaan Bumi pada level yang rinci, dimana pengaruh alamiah dan aktifitas yang diakibatkan manusia, dapat diidentifikasi dan dinilai secara akurat. Aplikasi yang paling penting dari data citra multispektral dari satelit seri Landsat adalah pendeteksian dan pematauan perubahan-perubahan pada permukaan.

Dalam penelitian ini citra satelit yang digunakan adalah citra Landsat 8 yang sudah dilakukan proses geometri. Adapun tahapan dalam menganalisi citra satelit Landsat 8 adalah penajaman citra dan klasifikasi citra penggunaan lahan.

Sebelum menampilkan data citra untuk analisis visual, teknik penajaman dapat diterapkan untuk menguatkan penambahan kontras citra. Pada berbagai peneraoan untuk menguatkan penampakan kontras citra. Pada berbagai penerapan langkah ini banyak meningkatkan jimlah informasi yang dapat diinterpretasikan secara visual (Lillesand dan Kiefer, 1990). Klasifikasi citra Landsat 8 di kabupaten Lampung Timur bertujuan untuk mengelompokkan kelas-kelas penggunaan lahan yang ada di dalamnya. Teknik pengklasifikasian penutupan lahan yang digunakan adalah klasifikasi dengan interpretasi secara visual.

Data Citra hasil klasifikasi ini digunakan untuk mengetahui kelas penggunaan lahan dan sebagai pembanding terhadap peta penggunaan lahan. Data citra ini tidak digunakan sebagai data dasar untuk menyusun  kelas kesesuaian lahan.

1.       Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) pada dasarnya merupakan gabungan tiga unsur pokok yaitu sistem, informasi dan geografis. Dengan melihat unsur–unsur pokoknya, maka jelas sistem informasi geografis merupakan salah satu sistem informasi dengan tambahan unsur “geografis”. Sistem Informasi Geografis diartikan sebagai sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis dan menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospatial, untuk mendukung keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumber daya alam, lingkungan transportasi, fasilitas kota dan pelayanan umum lainnya.

Jadi SIG diartikan sebagai suatu rangkaian kegiatan pengumpulan, penataan, pengolahan, dan penganalisaan data/fakta spasial sehingga diperoleh informasi spasial untuk menjawab suatu masalah dalam ruang muka bumi tertentu. System ini sudah ada sebelum computer ditemukan dan merupakan kegiatan rutin seorang geograf (Amri, 2001).

SIG sebagai system computer yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, dan personal (manusia) yang dirancang untuk secara efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisa, dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis (ESRI dan Aronoff, dalam Purwanto, 201). Untuk keperluan operasional, terdapat 4 komponen utama dari SIG yaitu : (1) Perangkat keras (2) Perangkat lunak computer (3) Basis data dan (4) Sumber daya/kemampuan pengguna (Margurie dalam Purwanto, 2001). Pemilihan Perangkat Lunak SIG tergantung pada kebutuhan pengguna atau disesuaikan dengan aplikasi yang akan dipakai. Basis data merupakan komponen penting dalam SIG. Upaya pembuatan dan pemeliharaan basis data selayaknya telah diperhitungkan sebelum memutuskan penggunaan SIG, khususnya di negara-negara di mana basis data digital tidak tersedia meski sistem geografi telah dilakukan. Diperkirakan lebih dari 80% upaya dibutuhkan untuk membangun basis data sebelum digunakan (Purwanto, 2001).

a.       Penyajian Spasial
Data yang digunakan untuk menganalisis sumberdaya pesisir dan lautan dibuat berdasarkan aplikasi SIG (Sistem Informasi Geografi) yang dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu data spasial dan data atribut.

Dalam merancang basis data, data spasial dikelompokkan menjadi dua macam layer, yaitu layer dasar dan layer tematik. Misalnya layer dasar terdiri dari data wilayah administrasi (ADMIN), jaringan jalan (JALAN), hidrologi (HIDRO), dan infrastruktur minyak (INFRA). Layer tematik merupakan layer landuse, yang terbagi ke dalam layer mangrove, tambak, perairan terbuka, tegalan, pemukiman, sawah, dan pantai berpasir (Purwanto, 2001)

2.       Aplikasi SIG Pada Tataruang Wilayah Pesisir dan Laut
Aplikasi SIG sudah banyak digunakan untuk pengolahan penggunaan lahan di bidang pertanian, kehutanan serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya (transportasi). Hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG telah tersebar luas pada bidang militer, pemodelan perubahan iklim global dan geologi, terutama dengan menggunakan SIG tiga dimensi.

Tabel memperlihatkan beberapa aplikasi SIG di wilayah pesisir khususnya di bidang perikanan (Purwanto, 2001)

Tabel 2.3 Beberapa Aplikasi SIG di wilayah Pesisir

Aplikasi
Keterangan
1.     Pengelolaan lahan
Pembuatan beberapa profil DAS di areal kehutanan, lahan budidaya, daerah pemukiman, perubahan garis pantai, tanah payau, tanah pasir dengan kemiringan 3-6% dan parameter lain untuk memperkirakan sumber air
2.     Pengelolaan habitat air tawar
Studi kasus dalam analisis dampak pencemaran. Membangun basis data untuk habitat yang potensial, data atribut dari kondisi habitat dan aliran arus, DAS, lokasi pembangunan bahan pencemar. Menggambarkan dampak di bagian hilir sungai terhadap prosentasi kehilangan produksi ikan. Analisis habitat yang terpengaruh oleh bahan pencemar, dan konversi areal habitat untuk pemeliharaan ikan.
3.     Pengelolaan habitat di air tawar
membangun basis data untuk beberapa atribut data, kedalaman, tipe sedimen. Membangun criteria untuk model kesesuaiaan habitat dengan menggambarkan hubungan antara variabel spasial. Overlay peta untuk memproduksi data yang dihasilkan.
-         Potensi budidaya
Dalam penentuan lokasi yang sesuai untuk budidaya udang diperlukan beberapa data, antara lain: salinitas, jenis tanah, pola curah hujan, penggunaan lahan, jenis tanah, hidrologi, geomorfologi pantai, dan karakteristik meteorology. Lokasi yang sesuai untuk pembenihan udang dan ikan memerlukan data sebagai berikut : Kualitas air, pola penggunaan lahan, jarak dari sumber air, geomorfologi
-         Studi sumberdaya wilayah pesisir
Identifikasi variabel social ekonomi yang terpengaruh akibat pembangunan di wilayah pesisir. Data yang digunakan adalah populasi, ketenagakerjaan, tingkat pendapatan tingkat pendidikan, infrastruktur dan fasilitas umum.
-         Perencanaan wilayah pesisir
Didasarkan pada karakteristik biofisik/ekologi dari wilayah pesisir dibandingkan dengan criteria kebutuhan biofisik untuk berbagai kegiatan pembangunan. Wilayah pesisir Kalimantan Timur dapat dibagi menjadi beberapa tipe kegiatan pembangunan seperti pemukiman, sawah, tambak, pertambangan dan padang penggembalaan
  Sumber     : Purwanto, 2001


3.       Kriteria SIG Untuk Pengelolaan Wilayah Pesisir


Penentuan SIG untuk berbagai penggunaan harus ditetapkan terlebih dahulu. Sebagian besar penggunaan SIG adalah untuk pengelolaan sumberdaya alam. Kriteria utama yang harus dipertimbangkan pada saat evaluasi kesesuaian SIG bagi pengelolaan wilayah pesisir adalah sebagai berikut:
1)      Model dan struktur data yang digunakan dapat dipakai pada wilayah yang luas dengan ketelitian dan resolusi yang tinggi.
2)      Data spasial maupun non spasial yang telah tersusun, dapat diperbaiki. Disimpan, dapat diambil pada saat tertentu dan dapat ditampilkan secara efisien dan efektif.
3)      Tersedianya peralat dengan kemampuan analisis spasial untuk pemodelan wilayah pesisir, yang dapat melakukan proses-proses analisis dan pemodelan tersebut. Volume dan kapasitas dari SIG juga penting dipertimbangkan terutama untuk proyek-proyek besar. Tetapi hal ini dapat ditanggulangi dengan berbagai konfigurasi perangkat keras (Purwanto, 2001).

a.       Integrasi Pengindraan Jauh dan SIG

Menurut Baja (1996) dalam Husein (1999), perkembangan teknologi komputer serta semakin banyaknya system satelit pengindraan jauh yang diluncurkan telah membuat kemajuan yang sangat spektakuler dibidang pengindraan jauh dan system informasi geografi.

Data input SIG dapat beragam jenis serta formatnya. Salah satu contohnya adalah informasi yang diperoleh melalui pemanfaatan teknologi inderaja baik berupa hasil interpretasi foto udara maupun penerapan metode pemrosesan citra (digital) diinkorporasikan kedalam teknologi SIG. Dengan berbasis permukaan bumi dalam SIG, dimmungkinkan adanya penggabungan beragam informasi, baik spasial maupun deskriptif.
Dalam melakukan perencanaan pada level tertentu, seseorang perencana seringkali dihadapkan pada berbagai ragam format data yang berbeda seperti dalam hal skala, resolusi spasial dan spectral, saat data tersebut direkam atau dibuat, system permukaan bumi, batas wilayah terwakili, dan sebagainya. Selain perbedaan-perbedaan tersebut Informasi yang berbasis Inderaja serta yang dikelola dan dihasilkan oleh SIG sangat berbeda dalam hal kombinasi format. Data digital yang diterima langsung dari sensor atau pengindera satelit maupun yang diperoleh dari terapan klasifikasi citra secara digital adalah dalam format raster. Sementara itu data masukan SIG melalui digitasi adalah dalam bentuk vector. Teknologi SIG memiliki fasilitas sistem integrasi yang berperan dalam menangani kumpulan informasi yang berbeda-beda sehingga perbedaan tersebut dapat dibuat kompatibel dan termanfaatkan, sehingga dalam menganalisis lahan ambak dapat dilakukan menggunakan aplikasi teknologi pengindraan jauh dan SIG.

Sumber :
Amri, A. 2001. Sistem Informasi Geografi (SIG)
www. Bakosurtanal. go.id/ SignasVI/paper_SIG_Asmarul.pdf. 9 Januari 2004.

Bakri, M. F. 1998. Aplikasi Pengindraan Jauh dan Sistem Informasi Geografi Dalam Mengevaluasi Kesesuaian Lahan Tambak Di Kecamatan Malili. Skripsi (tidak di publikasikan). Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Unhas. Ujung Pandang.

CRMP, 1998a. An An Analisys of Aquaculture in the Coastal Areas of Lampung Evolution, Status, and Potensial 1998. Technical Report Lampung. Bandar Lampung

CRMP, 1998b. Profil Habitat Perairan Pantai Profinsi Lampung. Technical Report CRMP Lampung. Bandar Lampung. Lampung.

Dahuri, R., Jacob Rais, Sapta Putra Ginting. Mj. Sitepu. 1997a. pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Penerbit Pradya Paramita. Jakarta.

Dahuri, R., Budi. W., Darmawan. 1997b. laporan Peninjauan Lapang ke Propinsi Lampung dalam Rangka Pemilihan Lokasi Proyek Pesisir. Technical Report. Lampung

Direktorat Pembudidayaan. 2002. Kumpulan Materi Pelatihan Petugas Teknis Budidaya Udang. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jepara.

Husein. 1999. Pemanfaatan Pengindraan Jauh dan Sistem Infoemasi Geografi (SIG) untuk Kesesuaian Lahan Tambak di Kecamatan Mamuju, Sulawesi Selata. Skripsi (tidak dipublikasikan). Jurusan Ilmu Kelautan, fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Lillesand,T.M dan F.W. Kiefer., 1990. Pengindraan Jauh dan Interpretasi Citra. Alih bahasa: R. Dulbahri. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Mintardjo, K., A. Sunaryo, Utami Ningsih. Hermiyaningsih. 1984. Persyaratan Tanah dan Air untuk Tambak. Dirjen Perikanan. Jakarta.

Prahasta, E. 2002. Sistem Informasi Geografi : Tutorial ArcView. Penerbit Informatika Bandung.

Purwanto, A. B. 2001. Peran Sistem Informasi Geografi dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan secara Berkelanjutan.
        www. Bakosurtanal.go.idVI/papers/paper_SIG pesisir Arief.pdf. 14 juni 2015.

Saimun. S., b. Ranoemiharjo., 1984.Teknik Pembuatan Tambak. Dirjen Perikanan, Jakarta.

Soeseno, S. 1983. Budidaya Ikan dan Udang dalam Tambak. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta.

Yustiningsih, N. 1997. Aplikasi System Informasi Geografi (SIG) didalam Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Perikanan Tambak dan Potensi Pengembangan di Teluk Banten dalam Remote Sensing and Geographic Information System Year Book 96/97. BPP Teknologi. Jakarta.

No comments:

Post a Comment

loading...