Pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan
laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air,
yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan
perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi
dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat
seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al,
2001).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir
Terpadu, Wilayah Pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara
ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil
dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu
(kewenangan propinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi
kabupaten/kota.
Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan
antara daratan dan lautan dimana batasnya dapat didefinisikan baik dalam
konteks struktur administrasi pemerintah maupun secara ekologis. Batas ke arah
darat dari wilayah pesisir mencakup batas
administratif seluruh desa (sesuai dengan ketentuan Direktorat
Jenderal Pemerintahan Umum dan otonomi Daerah, Depdagri) yang termasuk dalam
wilayah pesisir menurut Program Evaluasi Sumber Daya Kelautan (MERP). Sementara
batas wilayah ke arah laut suatu wilayah pesisir untuk keperluan praktis dalam
proyek MERP adalah sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam peta Lingkungan
Pantai Indonesia (LPI) dengan skala 1:50.000 yang diterbitkan oleh Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), (Dahuri dkk.,1996).
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan
laut; kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan baik
kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut
seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan kearah
laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses
alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun
yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan
pencemaran.
Daerah pesisir merupakan salah satu
pusat kegiatan ekonomi nasional melalui kegiatan masyarakat seperti perikanan
laut, perdagangan, budidaya perikanan (aquakultur),
transportasi, pariwisata, pengeboran minyak dan sebagainya. Seperti
diketahui bahwa secara biologis wilayah pesisir merupakan lingkungan
bahari yang paling produktif dengan sumber daya maritim utamanya seperti hutan
bakau (mangrove), terumbu karang (coral reefs), padang
lamun (sea grass beds), estuaria, daerah pasang surut dan
laut lepas serta sumber daya yang tak dapat diperbaharui lainnya seperti minyak
bumi dan gas alam.
Manfaat ekosistem pantai sangat banyak, namun
demikian tidak terlepas dari permasalahan lingkungan, sebagai akibat dari
pemanfaatan sumber daya alam di wilayah pantai. Permasalahan lingkungan yang
sering terjadi di wilayah perairan pantai, adalah pencemaran, erosi pantai, banjir,
inturusi air laut, penurunan biodiversitas pada ekosistem mangrove dan rawa,
serta permasalahan sosial ekonomi.
Lingkungan pantai merupakan daerah yang selalu
mengalami perubahan, karena merupakan daerah pertemuan kekuatan yang berasal
darat dan laut . Perubahan ini dapat terjadi secara lambat hingga cepat
tergantung pada imbang daya antara topografi, batuan, dan sifatnya dengan
gelombang, pasang surut dan angin. Oleh karena itu didalam pengelolaan daerah
pessisir diperlukan suatu kajian keruangan mengingat perubahan ini bervariasi
antar suatu tempat dengan tempat lain.
Banyak faktor yang menyebabkan pola pembangunan
sumber daya pesisir dan lautan selama ini bersifat tidak optimal dan
berkelanjutan. Namun, kesepakatan umum mengungkapkan bahwa salah satu
penyebabnya terutama adalah perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumber daya
pesisir dan lautan yang selama ini dijalankan secara sektoral dan
terpilah-pilah. Beberapa usaha untuk menanggulangi erosi dan mundurnya garis
pantai telah dilakukan oleh pihak-pihak terkait, diantaranya adalah dengan
melakukan kegiatan pengisian pantai (beach fill). Tetapi pada kenyataannya pantai tersebut masih terjadi erosi dan
terjadi mundurnya garis pantai di sekitar pantai pasir buatan.
Permasalahan Pesisir
Banyaknya pemanfaatan dan berbagai aktifitas yang
terus berlangsung dampak negatif pun muncul. Dampak-dampak utama
saat ini berupa polusi, abrasi, erosi dan sedimentasi, kerusakan
kawasan pantai seperti hilangnya mangrove, degradasi daya dukung
lingkungan dan kerusakan biota pantai/laut. Termasuk diantaranya isu
administrasi, hukum seperti otonomi daerah, peningkatan PAD
(Pendapatan Asli Daerah), konflik-konflik daerah dan sektoral
merupakan persoalan yang harus dipecahkan bersama melalui
manajemen kawasan pantai terpadu.
Selain itu berdasarkan pemantauan Departemen
Kelautan dan Perikanan serta Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
Nasional, kenaikan muka
air laut di Indonesia rata-rata 5-10 milimeter per tahun. Strategi adaptasi dan mitigasi belum menyeluruh sehingga garis pantai
semakin mundur. Luas daratan hilang setiap tahun mencapai 4.759
hektar. Terkikisnya daratan pesisir itu
memusnahkan vegetasi mangrove karena tidak mampu bermigrasi. Mangrove
sebagai penahan gelombang air laut terancam punah.
Konsep Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir
Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang
mengelola adalah semua orang dengan objek segala sesuatu yang ada di wilayah
pesisir. Contoh pengelolaan wilayah pesisir adalah ; pengelolaan
perikanan, pengelolaan hutan pantai, pendidikan dan kesehatan. Yang paling
utama dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada karakteristik
wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan wilayah
pesisir adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi, lingkungan,
ekonomi dan sistem sosial.
Pengelolaan terpadu Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antar sektor, antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu
pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan dengan tujuan untuk melindungi, mengkonservasi,
merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan; menciptakan
keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam
pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; memperkuat peran serta
masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam
pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan,
keseimbangan, keberkelanjutan, meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya
Masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam pengelolaan pantai juga harus diperhatikan upaya
pengendalian kerusakan pantai. Selain itu diperhatikan juga upaya pengawasan.
Pengendalian kerusakan pantai merupakan upaya untuk mencegah,
menanggulangi, serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang
rusak yang disebabkan oleh alam dan manusia. Pengendalian Kerusakan pantai
yang dapat merugikan kehidupan, dilakukan secara menyeluruh yang
mencakup upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan.
Upaya pencegahan dilakukan melalui perencanaan pengendalian
kerusakan pantai yang disusun secara terpadu dan menyeluruh.
Pencegahan dilakukan baik melalui kegiatan fisik
dan/atau nonfisik. Kegiatan fisik dapat berupa pembangunan sarana
dan prasarana daerah pantai serta upaya lainnya dalam
rangka pencegahan kerusakan/ bencana pantai. Upaya pencegahan lebih
diutamakan pada kegiatan nonfisik berupa kegiatan penyusunan dan/atau
penerapan piranti lunak yang meliputi antara
lain pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian.
Pengendalian kerusakan pantai ini menjadi tanggung jawab pemerintah,
pemerintah daerah, serta pengelola pantai dan masyarakat.
Mitigasi bencana adalah kegiatan-kegiatan
yang bersifat meringankan penderitaan akibat bencana. Penanggulangan
dilakukan secara terpadu oleh instansi-instansi terkait dan
masyarakat melalui suatu badan koordinasi penanggulangan bencana
pada tingkat nasional, Propinsi, dan kabupaten/kota.
Pemulihan kerusakan daerah pantai dilakukan dengan
memulihkan kembali fungsi lingkungan hidup dan sistem prasarana
daerah pantai. Contoh upaya pemulihan terhadap kerusakan pantai dapat dijumpai
pada:
Pantai berpasir yang mengalami kerusakan
akibat pengaruh adanya angkutan pasir sejajar pantai atau angkutan pasir tegak
lurus yang melebihi pasokannya. Pemulihan dapat dilakukan dengan
cara pengisian (suplai) pasir sampai pada kedudukan garis pantai awal ditambah
dengan pengisian pasir awal dan pengisian pasir secara periodik sehingga pasir
yang keluar seimbang dengan pasir yang masuk. Untuk mengurangi jumlah pasir
yang diisikan secara periodik, maka pada lokasi pantai yang dipulihkan dapat
dipasang krib tegak lurus atau krib sejajar pantai yang berfungsi mengurangi
besarnya angkutan pasir sejajar pantai.
Pantai berbakau, maka pemulihan dapat
dilakukan dengan usaha penanaman bakau. Agar bakau yang masih muda tahan
terhadap hempasan gelombang, didepan lokasi yang di tanami bakau, perlu
dipasang struktur semacam pemecah gelombang yang bersifat sementara. Apabila
bakau telah tumbuh dan mampu menahan gelombang, pemecah gelombang tidak
berfungsi lagi.
Pantai berkarang, pemulihan kerusakan karang
dapat dilakukan dengan usaha penanaman karang, dengan cara menempelkan potongan
karang pada akar karang yang masih ada. Untuk pemulihan pantai berbakau dan
pantai berkarang perlu keahlian khusus dalam kedua bidang tersebut, antara lain
ahli biologi dan lingkungan.
Perlindungan dan pengamanan daerah pantai terhadap
ancaman gelombang, diutamakan menggunakan perlindungan alami yang ada. Kalau
ternyata perlindungan alami sudah tidak dapat dimanfaatkan atau sudah tidak
dapat diaktifkan kembali untuk kegiatan perlindungan pantai, maka baru dipilih
alaternatif lain yaitu dengan menggunakan perlindungan buatan (artificial
protection).
Alam pada umumnya telah menyediakan mekanisme
perlindungan pantai secara alamiah yang efektif. Perlindungan alamiah ini dapat
berupa hamparan pasir di pantai yang cukup banyak, atau tanaman pantai yang
tumbuh di daerah berlumpur seperti pohon mangrove dan nipah, atau terumbu
karang yang berada di sepanjang pantai. Perlindungan alami ini sudah berjalan
sangat lama, sehingga telah membentuk suatu keseimbangan yang dinamis. Bilamana
perlindungan alami ini terganggu maka akan terjadi ketidakstabilan di pantai
tersebut.
Referensi
Artikel :
Branch M.C.,
1998. Regional Planning, In Introduction and Explanation Preager,
New York Wespart Connection, London.
Cicin-Sain, B.,
1993.Sustainable Development and Integrated Coastal Zone Management, Ocean and
Coastal Management.
Clark,
J.R., 1996. Coastal Zone Management, Lewis Publisher, Florida.
Dahuri, H.R., Rais, J.,
Ginting, S.P., dan Sitepu, M.J., 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Departemen Permukiman
dan Prasarana Wilayah, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air dan Direktorat Bina
Teknik, 2003. Pedoman Umum Pengamanan dan Penanganan Kerusakan
Pantai, Jakarta.
Kay R and Alder J,
1999. Coastal Planning and Management, E & FN Spon, an imprint
of Routledge, London.
Menteri Permukiman Dan
Prasarana Wilayah, 2003. Tinjauan Aspek Penataan Ruang Dalam Pengelolaan
Wilayah Laut Dan Pesisir. Surabaya.
No comments:
Post a Comment