Cekungan Sumatra Utara
Pola geologi dan tatanan stratigrafi regional
cekungan Sumatra Utara secara umum telah banyak diketahui berkat hasil
aktivitas eksplorasi minyak dan gas alam serta pemetaan bersistem pulau Sumatra
dalam skala 1:250.000. Keith (1981) dalam google.co.id/cekungan sumatera
membuat pembagian stratigraf Tersier Cekungan Sumatra Utara menjadi tiga
kelompok yaitu Kelompok I sebagai fase tektonik, pengangkatan dan pengerosian,
berumur Eosen hingga Oligosen Awal. Kelompok II merupakan fase genang laut yang
dimulai dengan pembentukan formasi-formasi dari tua ke muda yaitu Formasi
Butar, Rampong, Bruksah, Bampo, Peutu dan Formasi Baong. Kelompok III adalah
perioda regresif dengan pembentukan kelompok Lhoksukon.
Jika dilihat dari proses sedimentasi di cekungan sumatera utara. Kecepatan sedimentasi dan penurunan dasar sedimen ataupun cekungan pada awal pembentukan cekungan relatif lambat kemudian dilanjutkan dengan kecepatan sedimentasi lambat tetapi kecepatan penurunan dasar sedimen ataupun cekungan sangat cepat antara 15.5-12.4 juta tahun lalu.
Penurunan cepat dasar cekungan tersebut merupakan
akibat mulainya rifting di laut Andaman dan pada saat inilah terbentuk serpih
laut dalam Formasi Baong yang kaya material organik dan menjadi salah satu
batuan induk potensial di daerah Aru. Periode antara 12.4-10.2 juta tahun lalu
ditandai dengan kecepatan sedimentasi cukup besar tetapi penurunan dasar
sedimen atau cekungan lebih lambat sebagai awal pengangkatan Bukit Barisan atau
dikenal sebagai tektonik Miosen Tengah. Batupasir Baong Tengah terbentuk pada
periode ini dan merupakan salah satu batuan waduk (reservoir) daerah Aru.
Pada 9.3-8.3 juta tahun lalu kecepatan sedimentasi
sangat besar tetapi diikuti pula penurunan dasar sedimen atau cekungan yang
sangat besar sehingga penurunan sangat dipengaruhi. oleh pembebanan sedimen
disamping akibat penurunan tektonik. Pada waktu tersebut terbentuk endapan
klastik kasar Keutapang Bawah, diendapkan dalam lingkungan delta atau laut
dangkal dan merupakan juga batuan waduk (reservoir)penting di daerah Aru.
Model penurunan tektonik daerah Aru pada awalnya
menunjukkan penurunan lambat dilanjutkan penurunan sangat cepat antara
12.4-10.2 juta tahun lalu akibat rifting di Laut Andaman. Pada Miosen Tengah
atau antara 12.4-9.3 juta tahun lalu pola penurunan relatif lambat, stabil atau
terjadi pengangkatan akibat tektonik Miosen Tengah. Penurunan kembali cepat
antara 9.3-8.3 juta tahun lalu dan menjadi sangat lambat antara 5.3-4.4 juta
tahun lalu sebelum terjadi pangangkatan Pilo Pleistosen.
Cekungan Sumatra Tengah
Cekungan Sumatra tengah merupakan cekungan
sedimentasi tersier penghasil hidrokarbon terbesar di Indonesia. Ditinjau dari
posisi tektoniknya, Cekungan Sumatra tengah merupakan cekungan belakang busur.
Faktor pengontrol utama struktur geologi regional di cekungan Sumatra tengah
adalah adanya Sesar Sumatra yang terbentuk pada zaman kapur.
Struktur geologi daerah cekungan Sumatra tengah
memiliki pola yang hampir sama dengan cekungan Sumatra Selatan, dimana pola
struktur utama yang berkembang berupa struktur Barat laut-Tenggara dan
Utara-Selatan (Eubank et al., 1981 dalam Wibowo, 1995 dalam www.google.co.id/cekungan
sumatera). Walaupun demikian, struktur berarah Utara-Selatan jauh lebih dominan
dibandingkan struktur Barat laut–Tenggara.
Sejarah tektonik cekungan Sumatra tengah secara umum
dapat disimpulkan menjadi beberapa tahap, yaitu : Konsolidasi Basement pada
zaman Yura, terdiri dari sutur yang berarah Barat laut-Tenggara. Basement
terkena aktivitas magmatisme dan erosi selama zaman Yura akhir dan zaman Kapur.
Tektonik ekstensional selama Tersier awal dan Tersier tengah (Paleogen) menghasilkan
sistem graben berarah Utara-Selatan dan Barat laut-Tenggara. Kaitan aktivitas
tektonik ini terhadap paleogeomorfologi di Cekungan Sumatra tengah adalah
terjadinya perubahan lingkungan pengendapan dari longkungan darat, rawa hingga
lingkungan lakustrin, dan ditutup oleh kondisi lingkungan fluvial-delta pada
akhir fase rifting.
Selama deposisi berlangsung di Oligosen akhir sampai
awal Miosen awal yang mengendapkan batuan reservoar utama dari kelompok
Sihapas, tektonik Sumatra relatif tenang. Sedimen klastik diendapkan, terutama
bersumber dari daratan Sunda dan dari arah Timur laut meliputi Semenanjung
Malaya. Proses akumulasi sedimen dari arah timur laut Pulau Sumatra menuju
cekungan, diakomodir oleh adanya struktur-struktur berarah Utara-Selatan. Kondisi
sedimentasi pada pertengahan Tersier ini lebih dipengaruhi oleh fluktuasi muka
air laut global (eustasi) yang menghasilkan episode sedimentasi transgresif
dari kelompok Sihapas dan Formasi Telisa, ditutup oleh episode sedimentasi
regresif yang menghasilkan Formasi Petani.
Akhir Miosen akhir volkanisme meningkat dan
tektonisme kembali intensif dengan rejim kompresi mengangkat pegunungan Barisan
di arah Barat daya cekungan. Pegunungan Barisan ini menjadi sumber sedimen
pengisi cekungan selanjutnya (later basin fill). Arah sedimentasi pada Miosen
akhir di Cekungan Sumatra tengah berjalan dari arah selatan menuju utara dengan
kontrol struktur-struktur berarah utara selatan.
Tektonisme Plio-Pleistosen yang bersifat kompresif
mengakibatkan terjadinya inversi-inversi struktur Basement membentuk
sesar-sesar naik dan lipatan yang berarah Barat laut-Tenggara. Tektonisme
Plio-Pleistosen ini juga menghasilkan ketidakselarasan regional antara formasi
Minas dan endapan alluvial kuarter terhadap formasi-formasi di bawahnya.
Cekungan Sumatra Selatan
Geologi Cekungan Sumatera Selatan adalah suatu hasil
kegiatan tektonik yang berkaitan erat dengan penunjaman Lempeng Indi-Australia,
yang bergerak ke arah utara hingga timurlaut terhadap Lempeng Eurasia yang
relatif diam. Zone penunjaman lempeng meliputi daerah sebelah barat Pulau
Sumatera dan selatan Pulau Jawa. Beberapa lempeng kecil (micro-plate) yang
berada di antara zone interaksi tersebut turut bergerak dan menghasilkan zone
konvergensi dalam berbagai bentuk dan arah. Penunjaman lempeng Indi-Australia
tersebut dapat mempengaruhi keadaan batuan, morfologi, tektonik dan struktur di
Sumatera Selatan. Tumbukan tektonik lempeng di Pulau Sumatera menghasilkan
jalur busur depan, magmatik, dan busur belakang.
Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan
merupakan cekungan Tersier berarah barat laut - tenggara, yang dibatasi Sesar
Semangko dan Bukit Barisan di sebelah barat daya, Paparan Sunda di sebelah
timur laut, Tinggian Lampung di sebelah tenggara yang memisahkan cekungan
tersebut dengan Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga
Puluh di sebelah barat laut yang memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan
Cekungan Sumatera Tengah.
Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan
Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier yang
terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian
dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini
meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya dibatasi oleh
singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sunda
Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara
dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Menurut Salim et al. (1995) Cekungan Sumatera
Selatan terbentuk selama Awal Tersier (Eosen – Oligosen) ketika rangkaian
(seri) graben berkembang sebagai reaksi sistem penunjaman menyudut antara
lempeng Samudra India di bawah lempeng Benua Asia. Menurut De Coster, 1974
(dalam Salim, 1995), diperkirakan telah terjadi 3 episode orogenesa yang
membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera Selatan yaitu orogenesa
Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal dan Orogenesa Plio –
Plistosen.
Episode pertama, endapan – endapan Paleozoik dan
Mesozoik termetamorfosa, terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan
diintrusi oleh batolit granit serta telah membentuk pola dasar struktur
cekungan. Menurut Pulunggono, 1992 (dalam Wisnu dan Nazirman ,1997), fase ini
membentuk sesar berarah barat laut – tenggara yang berupa sesar – sesar geser.
Episode kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi
menghasilkan gerak – gerak tensional yang membentuk graben dan horst dengan
arah umum utara – selatan. Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan
hasil pelapukan batuan – batuan Pra – Tersier, gerak gerak tensional ini
membentuk struktur tua yang mengontrol pembentukan Formasi Pra – Talang Akar.
Episode ketiga berupa fase kompresi pada Plio – Plistosen yang menyebabkan pola pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam pembentukan struktur perlipatan dan sesar sehingga membentuk konfigurasi geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga terjadi pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar Semangko yang berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan.
Pergerakan horisontal yang terjadi mulai Plistosen
Awal sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan Sumatera Selatan dan Tengah
sehingga sesar – sesar yang baru terbentuk di daerah ini mempunyai perkembangan
hampir sejajar dengan sesar Semangko. Akibat pergerakan horisontal ini,
orogenesa yang terjadi pada Plio – Plistosen menghasilkan lipatan yang berarah
barat laut – tenggara tetapi sesar yang terbentuk berarah timur laut – barat
daya dan barat laut – tenggara. Jenis sesar yang terdapat pada cekungan ini
adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar normal.
Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur
yang berarah barat laut – tenggara sebagai hasil orogenesa Plio – Plistosen.
Dengan demikian pola struktur yang terjadi dapat dibedakan atas pola tua yang
berarah utara – selatan dan barat laut – tenggara serta pola muda yang berarah
barat laut – tenggara yang sejajar dengan Pulau Sumatera .
Batuan sedimen tersebut telah mengalami gangguan
tektonik sehingga terangkat membentuk lipatan dan pensesaran. Proses erosi
menyebabkan batuan terkikis kemudian membentuk morfologi yang tampak sekarang.
Cekungan Sumatera Selatan dan Cekungan Sumatera Tengah merupakan satu cekungan
besar yang dipisahkan oleh Pegunungan Tigapuluh. Cekungan ini terbentuk akibat
adanya pergerakan ulang sesar bongkah pada batuan pra tersier serta diikuti
oleh kegiatan vulkanik.
Daerah cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi
depresi Jambi di utara, Sub Cekungan Palembang Tengah dan Sub Cekungan
Pelembang Selatan atau Depresi Lematang, masing-masing dipisahkan oleh tinggian
batuan dasar (“basement”).Di daerah Sumatera Selatan terdapat 3
(tiga)antiklinurium utama, dari selatan ke utara: Antiklinorium Muara Enim,
Antiklinorium Pendopo Benakat dan Antiklinorium Palembang. Pensesaaran batuan
dasar mengontrol sedimen selama paleogen. Stratigrafi normal memperlihatkan
bahwa pembentukan batubara utara-selatan dimana pada bagian barat daerah
penyelidikan sungai-sungai mengalir kearah sungai Semanggus, sedangkan pada
bagian timur daerah penyelidikan sungai sungai mengalir ke arah timur dengan
Sungai Baung dan Sungai Benakat sebagai sungai Utama.
Cekungan Jawa Timur
Secara geologi Cekungan Jawa Timur terbentuk karena
proses pengangkatan dan ketidakselarasan serta proses-proses lain, seperti
penurunan muka air laut dan pergerakan lempeng tektonik. Tahap awal pembentukan
cekungan tersebut ditandai dengan adanya half graben yang dipengaruhi oleh
struktur yang terbentuk sebelumnya. Tatanan tektonik yang paling muda
dipengaruhi oleh pergerakan Lempeng Australia dan Sunda. Secara regional
perbedaan bentuk struktural sejalan dengan perubahan waktu.
Aktifitas tektonik utama yang berlangsung pada umur
Plio Pleistosen, menyebabkan terjadinya pengangkatan daerah regional Cekungan
Jawa Timur dan menghasilkan bentuk morfologi seperti sekarang ini. Struktur
geologi daerah Cekungan Jawa Timur umumnya berupa sesar naik, sesar turun, sesar
geser, dan pelipatan yang mengarah Barat-Timur akibat pengaruh gaya kompresi
dari arah Utara-Selatan.
Tatanan geologi Pulau Jawa secara umum dibagi
berdasarkan posisi tektoniknya. Secara struktural Blok Tuban dikontrol oleh
half graben yang berumur Pre–Tersier. Peta Top struktur daerah telitian dapat
dilihat pada Perkembangan tektonik pulau Jawa dapat dipelajari dari pola-pola
struktur geologi dari waktu ke waktu. Struktur geologi yang ada di pulau Jawa
memiliki pola-pola yang teratur.
Secara geologi pulau Jawa merupakan suatu komplek
sejarah penurunan basin, pensesaran, perlipatan dan vulkanisme di bawah
pengaruh stress regime yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Secara umum, ada
tiga arah pola umum struktur yaitu arah Timur Laut –Barat Daya (NE-SW) yang
disebut pola Meratus, arah Utara – Selatan (N-S) atau pola Sunda dan arah Timur
– Barat (E-W). Perubahan jalur penunjaman berumur kapur yang berarah Timur Laut
- Barat Daya (NE-SW) menjadi relatif Timur - Barat (E-W) sejak kala Oligosen
sampai sekarang telah menghasilkan tatanan geologi Tersier di Pulau Jawa yang
sangat rumit disamping mengundang pertanyaan bagaimanakah mekanisme perubahan
tersebut. Kerumitan tersebut dapat terlihat pada unsur struktur Pulau Jawa dan
daerah sekitarnya.
Pola Meratus di bagian barat terekspresikan pada
Sesar Cimandiri, di bagian tengah terekspresikan dari pola penyebarab singkapan
batuan pra-Tersier di daerah Karang Sambung. Sedangkan di bagian timur
ditunjukkan oleh sesar pembatas Cekungan Pati, “Florence” timur, “Central
Deep”. Cekungan Tuban dan juga tercermin dari pola konfigurasi Tinggian Karimun
Jawa, Tinggian Bawean dan Tinggian Masalembo. Pola Meratus tampak lebih dominan
terekspresikan di bagian timur.
Pola Sunda berarah Utara-Selatan, di bagian barat
tampak lebih dominan sementara perkembangan ke arah timur tidak terekspresikan.
Ekspresi yang mencerminkan pola ini adalah pola sesar-sesar pembatas Cekungan
Asri, Cekungan Sunda dan Cekungan Arjuna. Pola Sunda pada Umumnya berupa
struktur regangan. Pola Jawa di bagian barat pola ini diwakili oleh sesar-sesar
naik seperti sesar Beribis dan sear-sear dalam Cekungan Bogor. Di bagian tengah
tampak pola dari sesar-sesar yang terdapat pada zona Serayu Utara dan Serayu
Selatan. Di bagian Timur ditunjukkan oleh arah Sesar Pegunungan Kendeng yang
berupa sesar naik.
Dari data stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa
pola Meratus merupakan pola yang paling tua. Sesar-sesar yang termasuk dalam
pola ini berumur Kapur sampai Paleosen dan tersebar dalam jalur Tinggian
Karimun Jawa menerus melalui Karang Sambung hingga di daerah Cimandiri Jawa
Barat. Sesar ini teraktifkan kembali oleh aktivitas tektonik yang lebih muda.
Pola Sunda lebih muda dari pola Meratus. Data seismik menunjukkan Pola Sunda
telah mengaktifkan kembali sesar-sesar yang berpola Meratus pada Eosen Akhir
hingga Oligosen Akhir.
Pola Jawa menunjukkan pola termuda dan mengaktifkan
kembali seluruh pola yang telah ada sebelumnya (Pulunggono, 1994). Data seismik
menunjukkan bahwa pola sesar naik dengan arah barat-timur masih aktif hingga
sekarang.
Fakta lain yang harus dipahami ialah bahwa akibat
dari pola struktur dan persebaran tersebut dihasilkan cekungan-cekungan dengan
pola yang tertentu pula. Penampang stratigrafi yang diberikan oleh
Kusumadinata, 1975 dalam Pulunggono, 1994 menunjukkan bahwa ada dua kelompok
cekungan yaitu Cekungan Jawa Utara bagian barat dan Cekungan Jawa Utara bagian
timur yang terpisahkan oleh tinggian Karimun Jawa.
Kelompok cekungan Jawa Utara bagian barat mempunyai
bentuk geometri memanjang relatif utara-selatan dengan batas cekungan berupa
sesar-sesar dengan arah utara selatan dan timur-barat. Sedangkan cekungan yang
terdapat di kelompok cekungan Jawa Utara Bagian Timur umumnya mempunyai
geometri memanjang timur-barat dengan peran struktur yang berarah timur-barat
lebih dominan.
Cekungan Kalimantan Timur
Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik
yang kompleks. Adanya interaksi konvergen atau kolisi antara 3 lempeng utama,
yakni lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik dan Lempeng Asia yang membentuk
daerah timur Kalimantan (Hamilton, 1979).Evolusi tektonik dari Asia Tenggara
dan sebagian Kalimantan yang aktif menjadi bahan perbincangan antara ahli-ahli
ilmu kebumian. Pada jaman Kapur Bawah, bagian dari continental passive margin
di daerah Barat daya Kalimantan, yang terbentuk sebagai bagian dari lempeng
Asia Tenggara yang dikenal sebagai Paparan Sunda.
Pada jaman Tersier, terjadi peristiwa interaksi
konvergen yang menghasilkan beberapa formasi akresi, pada daerah
Kalimantan.Selama jaman Eosen, daerah Sulawesi berada di bagian timur kontinen
dataran Sunda. Pada pertengahan Eosen, terjadi interaksi konvergen ataupun
kolisi antara lempeng utama, yaitu lempeng India dan lempeng Asia yang
mempengaruhi makin terbukanya busur belakang samudra, Laut Sulawesi dan Selat
Malaka.
Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan yang
dihasilkan oleh perkembangan regangan cekungan yang besar pada daerah
Kalimantan.Pada Pra-Tersier, Pulau Kalimantan ini merupakan salah satu pusat
pengendapan, yang kemudian pada awal tersier terpisah menjadi 6 cekungan
sebagai berikut :1 Cekungan Barito, yang terletak di Kalimantan Selatan,
2.Cekungan Kutai, yang terletak di Kalimantan Timur,3. Cekungan Tarakan, yang
terletak di timur laut Kalimantan,4 Cekungan Sabah, yang terletak di utara
Kalimantan,5.Cekungan Sarawak, yang terletak di barat laut Kalimantan,6.
Cekungan Melawai dan Ketungau, yang terletak di Kalimantan Tengah
Kerangka tektonik di Kalimantan Timur dipengaruhi
oleh perkembangan tektonik regional yang melibatkan interaksi antara Lempeng
Samudera Philipina, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasian yang terjadi
sejak Jaman Kapur sehingga menghasilkan kumpulan cekungan samudera dan blok
mikro kontinen yang dibatasi oleh adanya zona subduksi, pergerakan menjauh
antar lempeng, dan sesar-sesar mayor.
Cekungan Kutai terbentuk karena proses pemekaran
pada Kala Eosen Tengah yang diikuti oleh fase pelenturan dasar cekungan yang
berakhir pada Oligosen Akhir. Peningkatan tekanan karena tumbukan lempeng
mengakibatkan pengangkatan dasar cekungan ke arah Barat Laut yang menghasilkan
siklus regresif utama sedimentasi klastik di Cekungan Kutai, dan tidak
terganggu sejak Oligosen Akhir hingga sekarang.
Pada Kala Miosen Tengah pengangkatan dasar cekungan
dimulai dari bagian barat Cekungan Kutai yang bergerak secara progresif ke arah
Timur sepanjang waktu dan bertindak sebagai pusat pengendapan. Selain itu juga
terjadi susut laut yang berlangsung terus menerus sampai Miosen Akhir. Bahan
yang terendapkan berasal dari bagian Selatan, Barat dan Utara cekungan menyusun
Formasi Warukin, Formasi Pulubalang dan Formasi Balikpapan.
Formasi Pamaluan (Tomp), Batupasir kuarsa dengan
sisipan batulempung, serpih batugamping dan batulanau; berlapis sangat baik.
Batu pasir kuarsa merupakan batuan utama, kelabu kehitam-kecoklatan, berbutir
halus-sedang, terpilah baik, butiran membulat-bulat tanggung, padat, karbonan
dan gamping. Setempat dijumpai struktur sedimen seilang-silang dan perlapisan
sejajar. Tebal lapisan antara 1-2 meter. Batu lempung tebal rata-rata 45 cm,
serpih, kelabu kecoklatan-kelabu tua, padat, tebal sisipan antara 10 -20 cm.
Batu gamping kelabu pejal, berbutir sedang kasar, setempat berlapis dan
mengandung foraminifera besar. Batu lanau tua kehitaman. Formasi Pemaluan merupakan
batuan palling bawah yang tersinggkap di lembar Samarinda dan bagian atas
formasi ini berhubungan menjemari dengan Formasi Bebuluh. Tebal formasi lebih
kurang 2000 meter. Berumur Oligosen sampai awal Miosen.
Formasi Bebuluh (Tomb), Batugamping terumbu dengan
sisipan batu gamping pasiran dan serpih, warna kelabu padat, mengandung
foraminifera besar, berbutir sedang. Setempat batu gamping menghablur, terkekar
tak beraturan. Serpih kelabu kecoklatan berseling dengan batupasir halus kelabu
tua kehitaman. Foraminifera besar yang dijumpai antara lain : Lepidocyclina
Sumatraensis Brady, Miogypsina Sp. Miogupsinaides SPP. Operculina Sp.,
menunjukan umur Miosen awal – Miosen Tengah. Lingkungan pengendapan laut
dangkal dengan ketebalan sekitar 300 meter. Formasi Bebuluh tertindih selaras
oleh Formasi Pulau Balang.
Formasi Pulubalang (Tmpb), Perselingan antara
graywacke dan batupasir kuarsa dengan sisipan batugamping, batu lempung,
batubara, dan tuf dasit. Batupasir graywacke, kelabu kehijauan, padat, tebal
lapisan antara 50 – 100 cm. Batupasir kuarsa, kelabu kemerahan, setempat tufan
muda kekuningan, mengandung foraminifera besar. Batugamping, coklat muda
kekuningan, mengandung foraminifera besar, batugamping ini terdapat sebagai
sisipan atau lensa dalalm batupasir kuarsa, tebal lapisan 10 – 40 cm. di S. Loa
Haur, mengandung foraminifera besar antara lain Austrotrilina howchina, Borelis
sp., Lepidocyclina sp., Myogypsina sp., menunjukan umur Miosen Tengah dengan
lingkungan pengendapan laut dangkal. Batulempung, kelabu kehitaman, tebal
lapisan 1 – 2 cm. Setempat berselingan dengan batubara, tebal ada yang mencapai
4 m. Tufa dasit, putih merupakan sisipan dalam batupasir kuarsa.
Formasi Balikpapan (Tmbp), perselingan batupasir dan
lempung dengan sisipan lanau, serpih, batugamping dan batubara. Batupasir
kuarsa, putih kekuningan, tebal lapisan 1 – 3 m, disisipi lapisan batubara,
tebal 0,5 – 5 m. Batupasir gampingan, coklat, berstruktur sedimen lapisan
bersusun dan silang siur, tebal lapisan 20 – 40 cm, mengandung Foraminifera
kecil, disisipi lapisan tipis karbon. Lempung, kelabu kehitaman, setempat
mengandung sisa tumbuhan, oksida besi yang mengisi rekahan-rekahan setempat
mengandung lensa-lensa batupasir gampingan. Lanau gampingan, berlapis tipis;
serpih kecoklatan, berlapis tipis. Batugamping pasiran, mengandung Foraminifera
besar, moluska, menunjukan umur Miosen Akhir bagian bawah – Miosen Tengah
bagian atas. Lingkungan pengendapan delta, dengan ketebalan 1000 – 1500 m..
Formasi Kampungbaru (Tpkb), Batupasir kuarsa dengan
sisipan lempung, serpih; lanau dan lignit; pada umumnya lunak, mudah hancur.
Batupasir kuarsa putih, setempat kemerahan atau kekuningan, tidak berlapis,
mudah hancur, setempat mengandung lapisan tipis oksida besi atau kongkresi,
tufan atau lanauan, dan sisipan batupasir konglomeratan atau konglomerat dengan
komponen kuarsa, kalsedon, serpih merah dan lempung, diameter 0.5 – 1 cm, mudah
lepas. Lempung, kelabu kehitaman mengandung sisa tumbuhan, batubara/ lignit
dengan tebal 0,5 – 3 m, koral. Lanau, kelabu tua, menyerpih, laminasi, teballl
1 – 2 m. Diduga berumur Miosen Akhir – Pilo Plistosen, lingkungan pengendapan
delta – laut dangkal, tebal lebih dari 500 m. Formasi ini menindih selaras dan
setempat tidak selaras terhadap Formasi Balikpapan. Endapan Alluvium, Kerikil,
pasir dan lumpur terendapkan dalam lingkungan sungai, rawa, delta dan pantai.
Secara umum wilayah Kepulauan Nusantara merupakan
pertemuan tiga lempeng yang sampai kini aktif bergerak. Tiga lempeng tersebut
adalah lempeng eurasia, lempeng indo australia, dan lempeng pasifik. Pergerakan
tiga lempeng tersebut menyebabkan patahan atau sesar yaitu pergeseran antara
dua blok batuan baik secara mendatar, ke atas maupun relatif ke bawah blok
lainnya, menghasilkan lajur gunung api, membentuk zona sudaksi dan menimbulkan
gaya yang bekerja baik horizontal maupun vertikal, yang akan membentuk
pegunungan lipatan, jalur gunungapi/magmatik, persesaran batuan, dan jalur
gempabumi serta terbentuknya wilayah tektonik tertentu. Selain itu terbentuk
juga berbagai jenis cekungan pengendapan batuan sedimen seperti palung (parit),
cekungan busurmuka, cekungan antar gunung dan cekungan busur belakang.
Cekungan-cekungan yang terbentuk di cekungan busur belakangan adalah cekungan
sumatera utara, cekungan sumatera tengah, cekungan sumatera selatan, cekungan
jawa, dan cekungan Kalimantan.
Sumber
Referensi : The Journal Geology of Indonesian
No comments:
Post a Comment